Sabtu, 06 Juli 2013

for my mom birthday :)


My 19th with my classmates , 1 civil 1 afternoon :)





Cinta itu Dia

Aku bingung harus memulai tulisan ini darimana?
Karena aku juga sejujurnya tidak tahu, sebenarnya… kapan ini bermula?
Mungkin… dari kata orang ..
Semua orang sibuk mendeskripsikan cinta
Menulisnya dengan tulisan yang tiap hurufnya kita perhatikan arti dari setiap garis, tinggi huruf, ketebalan, hanya demi kesan estetika dari cinta itu sendiri
Menggambarkannya dengan segala gambaran bak khayalan tingkat tingkat tinggi
Menuangkannya dalam segala hal berdasarkan ideology masing-masing
Menceritakan, mengungkapkan, dengan cara dan proses masing-masing
Tapiii.. mungkin kau akan tahu perbedaan dari caraku.
Aku tidak menuliskannya untuk diberikan, tidak menggambarkannya dengan sejuta perumpamaan indah tentang dirimu, aku juga tidak mengungkapkannya dengan segala proses yang dibuat-buat.
Yang kutahu hanya 1, bahwa ini cinta. Aku tidak tahu bagaimana caranya menuliskannya, menggambarnya, mengungkapnya.

Ketika orang bilang cinta itu indah
Cinta itu bahagia
Cinta itu uang
Dan msh bnyk lg
Jika aku bilang cinta itu indah, lalu ketika peristiwa buruk dengan membiarkan kekasih pergi apa itu bukan cinta?
Jika aku bilang cinta itu bahagia, jadi jika kita menangisi kekasih yg pergi apa itu bukan cinta?
Jika aku bilang cinta itu adalah uang, jika saja uang itu habis, apa cinta itu habis?

Bagiku…
Cinta itu adalah ketika dengan mata yang sama, tetapi melihat orang-orang yang berbeda , tapi Cuma dia, SATU! Yang bercahaya
Dengan hanya satu otak, begitu banyak hal yang perlu diingat tapi hanya dia yang tanpa perlu kita sibuk mengingat selalu muncul di sela waktu
Dengan hanya satu hati, diantara jutaaan orang yang pantas dihargai, tapi hanya dia yang tertulis
Dengan satu jantung, diantara banyak hal didunia ini , hanya dengan melihat wajahnya, aku tahu ini cinta
Singkatnya, cinta itu yaa… dia
Jika saja ia tak lagi indah, jika saja ia tak lagi beri bahagia, jika saja ia tak bisa beri uang banyak,
Cinta itu yaa….

Dia..dia..dia kemudian titik!

Minggu, 19 Mei 2013

Sebutir Beras Untuk Ayah


Terinspirasi dari keringat-keringat ayah-ayah di dunia ini, yang tiada mengeluh betapa banyak tuntutankita terhadapnya, dan kita selalu menuduhnya ‘tidak pengertian’ jika itu tidak dipenuhi padahal ayah tidak pernah menuntut pengertian kita untuk mengerti betapa kerasnya usaha yang dia lakukan bahkan hanya untuk sebutir nasi.

Sebutir Beras Untuk Ayah

Aku Riana, usiaku tujuh belas tahun, yang kata orang umur sedang banyak maunya, mau kelihatan cantiklah, inilah, itulah. Aku juga sedang banyak mau. Tapi keinginanku mungkin cukup sederhana untuk orang-orang diluar sana. Aku hanya ingin…. Nasi.
Ibuku adalah seorang ibu rumah tangga dari tiga orang anak dan aku adalah anak bungsunya, kata orang anak bungsu dimanja-manja, tetapi sepertinya tidak bisa berlaku didalam keluarga kami. Ayahku seorang buruh kasar di desaku, seringkali ia tidak memiliki pekerjaan dan mencari-cari pekerjaan dari matahari mulai menampakkan hidungnya sampai matahari menyelimutkan dirinya dalam senja. Ibuku pun menjual anyaman untuk menambah penghasilan, tapi yaa tidak banyak yang membeli walaupun kami tinggal di perumahan kumuh sekalipun. Kakak tertuaku pergi dari rumah dan tak kembali ketika ayah berhasil menguliahkannya sampai ayah tak memiliki sepeser pun saat itu, entah apa yang ada dipikiran kakakku, dan kakak kedua ku sekarang dia sudah dipinang oleh seorang laki-laki, yang juga tak jauh-jauh dari kalangan kami. Yaahh aku mulai memaki-maki FTV-FTV, mana mungkin seorang miskin bisa dapet orang kaya? Wong gaulnya aja ama sesama miskin, yaah seperti kami. Sekarang kalian bisa imajinasikan keadaan kami?
Hari ituu, aku berkali-kali mengeluh dada didalam kamar, aku mogok makan. Padahal tak ada yang bisa dimakan, yaa terkecuali nasi aking yang didapat ayah dari sisa masak pembantu di rumah perkomplekan di dekat rumah kami. Rumah kumuh kami memang dekat dengan komplek, dan kalian tahu? Mereka hanya mengeluhkan betapa baunya kamu dengan sampah-sampah kami, seperti mereka benar-benar bukan sampah saja!
Aku mengambil buku tulis lusuhku yang tinggal hanya selembar, aku sungguh ingin menulis, aku suka menulis, tapiiii jika aku tulis selembar ini lalu besok aku harus tulis dimana pelajaranku? Kalian kaget aku sekolah? Jangan kaget begitu! Memangnya hanya orang-orang kaya yang sanggup sekolah? Aku benar-benar muak dengan kesadaan ini dan aku berniat merubahnya, aku bersekolah di suatu SMA swasta bagus di daerahku, gratis sampai lulus. Tapi jarak sekolah dan rumahku lumayan jauh dan menyebabkan aku selalu terlambat, tapi karna aku pintar, aku tidak pernah diberi hukuman seperti yang lain. sombong? Yaa aku memang sombong, terlebih saat aku SMA ini. Aku menyesal ayah. Kenapa kau tak kembali?
Hari itu, hari dimulainya peristiwa yang aku sesali seumur hidupku. Aku mulai bosan dengan harus berjalankaki setiap hari, ibu dengan baju bolongnya yang terlihat ga bergaya, ga bisa aku pejeng didepan teman-teman dan bilang dengan bangga “Ini ibuku!”,  terlebih ketika aku mengingat peristiwa di kelas ketika ada tugas maju ke depan dan menceritakan keluarga, mereka bilang “ayahku lulusan Harvard”, padahal aku juga gatau saat itu Harvard itu nama sekolah apa, tapi karena semua pada menganga mendengar kalimat itu, pasti itu keren. Kemudian ada yang bilang “Ibuku duta luar negeri” “Ibuku ini” “Ayahku itu” daaannn tibalah giliranku.
“Mmmmm, aku..”
TENG… TENG…TENG…
“Wah sayang sekali Riana, mungkin kita bisa mendengar ceritamu lainkali, sekarang kembali ke bangkumu karena kita akan berdoa untuk pulang.”
Terserah kalian mau bilang aku malinkundang atauapapun aku senang sekali dengan bel itu, begitu tepat. Tapi tetap saja aku menyimpan rasa kesal karena kejadian itu, aku terus berpikir jika aku harus bercerita tentang orangtua, keluargaku, apa yang bisa sedikit dibanggakan? Sepertinya tidak ada! Rumah reot! Lingkungan kumuh! Uang seribu yang begitu mewah! Makan pizza seperti mimpi! Bahkan makan es krim magnum yang katanya enak itu seperti mimpi!  Aku benci ini semua, akhirnya aku mengurung diri dan tidak mau keluar.
“Anaaa, ayooo makan ana”
“Emang ada yang bisa dimakan Bu? Nasi aking itu ga layak dimakan buu, akuuu mau nasiii, udah hampir 4 bulan makannya ini mulu, makanan paling mewah saja nasi aking plus telur ceplok! Itupun satu dan dipotong tiga! Aku ga mau makan kalo ga ada nasiii, emang gaji ayah kemana siiihhh? “
“Ayah sedang tidak memiliki pekerjaan nak, dia sekarang sedang berkeliling untuk menyemir sepatu”
“Yaa trus duit ayah nyemir tuh kemana buu? Kemaaaannaaa? “
Ibuku hanya diam, aku benar-benar tak mau melihat wajah ibuku, dan terus menggerutu.
“Assalamualaikum”
Aku melihat ke sumber suara yang sepertinya dari ayah yang baru pulang, ibu langsung mengahmpiri ayah. Aku berdeiri dan melihat mereka dari kejauhan.  Wajah cemas mereka, aku bisa menangkap dengan baik bahwa ayah tidak bawa uang sepeser pun dan mulai gelisah karena anaknya mogok mau makan nasi.  Aku makin jengkel saja akhirnya aku melewati mereka tanpa sepatah katapun, aku mendengar ibuku memanggil tapi ku acuhkan. Aku mau keluar dan berjalan sebentar. Aku berjalan ke sebuah tempat di dekat sawah yang sudah tak terawat, aku duduk di saung yang lama tak dikunjungi tuannya itu. Aku tertidur.
Saat aku terbangun, aku memutuskan untuk pulang, sekalipun tak ada nasi aku tetap harus pulang, karna aku takut kehujananan. Aku bermaksud mengambil jalan terjauh untuk ke rumah, yaitu lewat jalan raya, banyak took beras disana. Saat banyak orang aku terjatuh dan tcoba tebak, apa ada yang menolong orang berpakaian kumuh sepertiku? Tidak! Aku terjatuh di hadapan sebutir beras, tiba-tiba aku teringat dengan ibu dan ayah, jika melihat banyak orang tapi taka a yang perduli padaku aku jadi takut dan merasa bersalah pada ayah. Aku mengambil sebutir beras itu dan memandanginya.
“Gara-gara kamu, aku jadi begini sama ibu dan ayah!” tanpa sadar air mata jatuh di pipiku, aku berusaha menghapusnya dan bangkit berdiri bersama sebutir nasi itu. Aku ingin menyerahkan kepada ayah, aku ingin minta maaf. Yaah walaupun ini hanya sebutir beras.  Aku berjalan dengan perasaan bersalah, tiba-tiba ada tabrakan di jalan raya, suasana langsung gaduh,itu menyadarkanku dari semua pikiran-pikiranku, tiba-tiba saja semua orang mendekati korban, aku juga penasaran tapi aku harus segera pulang. Aku terus memegang sebutir beras tanda maafku, saat sudah mau sampai rumah, seperti ada yang memanggilku.
“Anaaaa, kamu kemana aja!?”
“Aku ketiduran di saung Bu Ratih, kenapa? Si Rani minta diajarin mtk lagi?”
“Bukaaaan anaa!” tiba-tiba ibu Ratih memelukku. Kemudian dia melepas pelukannya ketika warga sibuk membopong seseorang yang berlumuran darah ke rumahku, aku tidak tahu siapa itu, mungkin kakak tertuaku yang lama hilang, soalnya dibelakang segerombolan orang itu ibu menangis, aku jadi bingung kenapa ibu nangisin anak kayak dia. Aku semakin bingun lagi ketika ibu Ratih, tetanggaku yang paling baik ikut-ikutan menangis, aku jadi gelisah. Aku berusaha mendekati ibu, ditangannya ada tas bahan warna putih berlumuran darah dan….. beras. Aku semakin gelisah aku mendekati orang yang dibopong warga, sempat menjinjit sampai kerumunan orang itu menaruh seseoran itu di atas tikar anyaman ibu yang baru ¾ selesai.
Entah senapan mana dan darimana yang menembak tepat dihatiku, nyaris membuatku tersenggal, memaksa kelenjar airmataku mengeluarkan seluruh airmatanya. Aku masih memegang erat sebutir nasi untuk ayahku. Aku menangis dan meringkuh dihadapan ayah, untungnya dia masih bergerak. Berarti dia masih hidup. Aku mendekatinya. Tubuh penuh darah itu.
“Ayaaaahhh, akuuu minta maaf ayaahh, Anaa minta maaf, ana gatau harus ngapain dan ngasih apa biar ayah maafin ana yang kurang ngajar, Ana Cuma bawa sebutir beras tanda maaf Ana. “
“Maafin ayah,” katanya pelan sekali dan lirih.
“A.. yah, udah beli…. Be…rass, kamu.. maa..kann.. yaa” aku melihat ia tersenggal-senggal.
“Ibuuuu! Ibuuu! Bawa ayah ke Rumah sakit ibuuuuu.” Aku mendekati ibu dan bersujud memohon padanya. Tapi ibu takmau menjawab. Aku kembali kepada ayah. Aku menangis sejadi-jadinya dihadapnnya, butir beras yang aku berikan masih ia pegang kemudian ia telan.
“Berasnya e..nak. maka..sih yaa. “
Ayah mengalihkan pandangan ke atas rumah, dan berkali-kali kulihat tubuhnya seperti berlomba-lomba mengambil oksigen yang sulit masuk ke dalam tubuhnya.
“Ashaduallailahaillah, wa ashaduaann…naa Muhammadarrosullullah”
Tiba-tiba mata ayah tertutup. Aku men dekati wajahnya, aku goncangkan tubuhnya berkali-kali, aku panic. Aku mendekati ibu.
“Kenapa ibu ga bawa ayah ke rumah sakit buu? Kenapa kesini? Kenapaaa!! Hiks hiks”
Ibu hanya diam, dan ikut menangis bersamaku.
Beberapa hari setelah ayah meninggal, ibu mengambil kaleng biscuit tua, aku pikir isinya jarum dan benang. Ibu hanya mmeberikannya dan meninggalkanku untuk melanjutkan anyamannya.
Aku membuka kaleng itu. Ada banyak uang, aku tersenyum melihatnya, aku bisa pakai untuk beli beras, beli mesin jait untuk ibu, biaya penguburan ayah dann… ada surat?
Untuk biaya kuliah anak bungsu tercinta saya, Riana Putri.
Tanpa sadar airmata turun ke pipiku, uang gaji ayah yang selama ini aku pertanyakan kemana? Kenapa dia ga beliin aku baju atau bahkan sandal untuk mengganti sandalnya yang sudah tipis sekali. Jadi untuk ini. Jadi untuk ini. Sebutir berasku benar-benar ga bisa dibandingkan dengan ini! Benar-benar ga! Aku menyesal ayah!! Menyesal!! Kenapa kau tak kembali?  T.T

Senin, 22 April 2013

Aku Melewati Jalan Ini


Tadi pagi aku melewati jalan ini. Wangi itu masih sama. kemarinpun aku melewati jalan ini. Wanginya pun sama. dan kemarin lusa aku melewati jalan ini. Wanginya pun masih sama.setidaknya itu berlaku sejak kurang lebih satu tahun yang lalu. Aku mencium lara, aku mencium tawa, aku mencium sakiit, aku mencium nafas-nafas perjuangan yang hampir tersenggal, aku mencium lirih, aku mencium perih, aku mencium cinta, tapi aku mencium duka. Wangi yang berbeda dari sebuah hal yang sama. kehidupan.
Dulu, ketika aku masih berlindung di rumah putihku yang luas itu, wanginya pun hampir sama, hanya saja kekentalan dari aroma keserakahan lebih besar. Aku dibuat bingung oleh topeng-topeng berguratan halus itu, aku bahkan tak bisa membayangkan kasarnya wajah dibelakang topeng. Aku harus bagaimana? Aku pernah berbincang pada diriku.
Aku : “Bagaimana mungkin aku bisa percaya apa yang tidak bisa aku lihat, sementara tak henti-hentinya wanita itu menyebutkan hal itu. Hal yang begitu kejam.”
Diriku: “Sebelum aku jawab, saya ingin bertanya ‘siapa Tuhanmu?’
Aku : “Allah”
Diriku : ”Bagaimana kamu bisa mempercayai Tuhan yang selama ini kamu percayai, sementara kamu belum pernah melihat, menyentuh-Nya?”
Aku : “Aku tidak melihat-Nya secara kasat mata tapi mampu melihat berbagai kekuasaan-Nya, dan Dia mampu melihatku, serta Dia dekat, aku tak menyentuh-Nya, tapi Dia menyentuhku dengan nikmat-nikmat-Nya, dan aku selalu berbicara dengan-Nya lewat shalat, dan doa.”
Diriku : “Lalu apa yang membuat hal yang dibicarakan wanita itu menjadi tak bisa dipercaya?”
Aku : “Kali ini kau benar, dia memang tak bisa ku lihat tapi dia dekat, tak bisa ku sentuh tapi dia bisa menyentuhku dengan godaannya, dan dia selalu berbicara kepadaku lewat bisikan”
Diriku : “Lalu apa lagi yang kau pertimbangkan?”
Aku : “Aku masih tak percaya pada topeng berguratan halus yang memncekik leher wanita itu”
Diriku : “ Kita mana tahu, tapi Allah Maha Tahu, percayalah bahwa kebenaran tidak akan selamanya terkontaminasi oleh kebohongan yang terlihat benar”
Aku : “Aku mulai mengeluhkan umurku”
Diriku : “Semua orang pasti bertambah tua”
Aku : “Bukan itu, tapii semakin aku tumbuh, berita-berita lain yang sejenis dapat kudengar dengan mudah, seperti memang sengaja membiarkan ku tahu. Sementara wanita itu adalah ibuku. Bagaimana mungkin aku menyangkal cerita itu? Sementara itu memang sulit untuk dipercaya.”
Bahkan musuh sekalipun bisa berubah menjadi teman. Kenapa teman tidak bisa jadi musuh? Sampai saat ini, itulah yang selalu terbenak. Aku menenggelamkan seluruh kepenatanku tentang itu.
Kini aku bicara teringat sahabat. Ada yang bilang temanmu saat ini menentuka temanmu di tiga tahun mendatang. Sepertinya itu benar. Aku mencium jalan yang hitam, seolah ada larutan dengan kepekatan tingkat tinggi di dalamnya, aku hampir terperosok kedalamnya, seandainya tak ada tangan-tangan yang menggenggamku dan menarikku. Sekarang aku pun berjalan normal lagi di jalan ini, tapi jalan itu hampir tak bisa aku lupa. Bahkan seorang teman bisa menjerumuskan kita tanpa memaksa kita melewati jalan hitam itu, beruntung aku punya teman baik yang menyelamatkanku.
Aku : “Bagaimana mungkin manusia bisa tidak menggunakan hatinya?”
Diriku : “Mudah. Karena manusia punya nafsu”

Jangan Sampai Ayah Tahu



Anti sedang merenung ketika teman disampingnya berkali-kali memanggil namanya.
“Antiiii!!!”
Anti hanya memasang wajah kaget dan menoleh ke arah temannya, temannya kemudian melanjutkan omongannya, Anti memperhatikannya tapi tidak menyimaknya. Pikirannya sedang tertuju pada satu tanggal. 26 April 2013.
15 April 2013, Anti ditelpon oleh seseorang yang tiba-tiba datang dalam kehidupannya bak malaikat. Bagaimana tidak? Dia sedang bingung membayar semua tagihan-tagihan biaya kuliah yang tidak mampu ia bayar, dari Rp 12.000.000 uang semester yang harus dia bayar kemarin, ia baru bayar Rp 100.000 dengan penandatanganan hitam diatas putih bahwa pada tanggal 26 April besok, ia harus melunaskan itu atau dikenakan denda. Beban pikiran-pikiran yang membuat Anti stress itu berkurang ketika seseorang datang menawarkan beasiswa yang sepertinya menarik dan sangat membantu biaya kuliahnya, pada hari itu orang yang tak lain adalah teman sekampus Anti ingin datang ke rumah Anti, untuk memfoto rumah Anti. Anti bingung, bukan karena ia lupa alamat rumahnya, jelas bukan! Tapi, mengingat rumahnya yang bisa dibilang bagus, dengan dinding permanen, genteng dan lantai keramik, bagaimana mungkin dia bisa meyakinkan temannya bahwa dia memang sedang butuh bantuan sekalipun rumahnya bagus.
“Rumah yang gua tinggalin ini warisan dari nenek, ayah tadinya cuma marbot masjid, dan sekarang baru kerja dua bulan jadi tukang sapu parkir di suatu kampus, mama sakit dan belum pulih, gua sendiri bekerja untuk menambah uang jajan dan membeli alat-alat kuliah. Kalo ga kerja mana bisa beli biar kata cuma sepatu abal yang harganya Rp 35.000”
Teman Anti hanya diam seolah terhenyak dengan semua cerita-cerita Anti.
“kayaknya gua pernah ngobrol deh ama bokap lu, pas bokap lu masih jadi marbot masjid di deket kosan gua”
“Gua tau kok. Soalnya waktu itu bokap pernah cerita, dan yang gua tau temen sekampus gua yang ngekos deket kampus ya lu.”
Sejenak keadaan hening.
“Haaaaaahh!” Anti menghela nafas seolah udara tiba-tiba menjadi begitu berat sekarang.
“Kalo seandainya gua certain ini ke orang banyak dengan kondisi rumah yang bisa dibilang bagus walaupun ga mewah ini, mana ada yang percaya. Sebenarnya gua takut ikut beasiswa yang pake liat rumah karena ini, gua pasti dianggap ga layak, padahal gua bener-bener butuh”
“Iyaa gua juga bingung sih jelasin ke orang yang ngurus beasiswa ini, yaah doain aja semoga mereka percaya, tapi gua percaya ko, soalnya gua pernah ngobrol ama bokap lu jauh sebelum gua diamanatin ini, dan ceritanya sama kayak lu”
“Sertifikat tanah ini juga digadain buat biaya kuliah gua, ditambah utang-utang lain, gua kadang pengen nangis ngeliat bokap gua yang suka minjem sana-sini, kalo tiba-tiba orangnya nagih dan suka kasar nagihnya tuuhh sakit gua ngeliatnya, sakiit banget”
“Udah Ti, nanti gua omongin sama orang yang beasiswa ini, tapi gua ga berani jamin lu dapet dan dia bisa percaya yaa”
“Iyaa gapapa, setidaknya gua udah usaha, gua juga lagi nunggu beasiswa tapi belum keluar-keluar pengumumannya di kampus padahal gua lagi butuh banget”
Keadaan kembali sunyi. Teman Anti membuang pandangan ke setiap sisi rumah Anti, ibu Anti sedang mencuci baju, mencuci baju manual bukan dnegan mesin cuci.
Ahhhh, pusing kalo dipikirin mulu, ga ada habisnya.
Anti kemudian menyandarkan diri di dinding yang dingin di kamar temannya yang masih sibuk bercerita itu, entah apa yang diceritakan Anti tidak menyimak, hanya memperhatikan. Dia memejamkan matanya berharap jika ia membuka mata ini semua sudah berakhir. Tapi ternyata tidak! Itu tidak bisa. Kemudian ia memejamkan matanya sekali lagi.
16 April 2013, ketika Anti pergi ke kampus dan masuk ke ruang administrasi untuk mengurus absensi yang bermasalah tentang dirinya…
“Iya pak, jadi tuh saya pernah bicara sama Pak Januadi yang ternyata ayahnya, dan memang benar dia marbot masjid pak, dan ceritanya pun ga beda dengan yang diceritakan si anak”
“Tapi kan dia rumah warisan, seharusnya ada duitnya doong pas pindah rumah? itu duitnya kemana aja cobaa?”
JLEB. Sebagaimana busur yang terlepas dari panahnya dan melesat menembus lapisan-lapisan udara pelindung yang sebenarnya sudah tipis, menusuk tepat di hati Anti ketika mendengarnya. Anti bermaksud untuk segera pergi dari ruang itu sebelum temannya itu menyadari dirinya ada disana dan mendengar ketidakpercayaan dari beberapa dosen yang ia ajak bicara itu.
Rasanya ingin menangis. Berkali-kali Anti mendongakan kepala dan menarik nafas dalam-dalam dan berpura-pura mengucak matanya dihadapan kerumunan teman kampusnya hanya untuk menyembunyikan keinginannya untuk menangis.
Adakah yang percaya, dan memberi sedikit saja keringanan? Saya bukan orang yang pemalas, nilai saya pun tidak buruk, disaat orang-orang tengah sibuk beli baju, sepatu, make up yang harganya menjulang, saya justru berpikir ‘apa besok kami bisa makan?’ dan tidak pernah berhenti berpikir ‘bagaimana saya harus membayar tanggal 26 besok’ saya tidak peduli jika saya sakit, tapi ayah saya pasti lebih sakit jika mendengar ada yang tidak percaya, bagaimana saya harus menceritakan ini?
Pikiran-pikiran itu mulai mengganggu ketenangan Anti, dia memutuskan untuk tidak menceritakan kejadian itu pada ayahnya. Entah apa yang akan dia lakukan lagi untuk 26 besok.
Anti membuka matanya kemudian mendapati temannya ada dihadapannya, dan tiba-tiba temannya memeluk Anti.
“Lu kenapa Ti? Gua minta maaf kalo gua terlalu sibuk dengan masalah pribadi gua, dan ga sadar kalo teman gua lagi nangis”
Anti pun meledak saat itu, setidaknya pelukan itu dan tangisan yang ia keluarkan itu mampu mengurangi beban batin yang ia tanggung. Yaah, setidaknya sedikit berkurang.