Ristasiwi
Rabu, 19 Maret 2014
Sabtu, 06 Juli 2013
Cinta itu Dia
Aku bingung harus
memulai tulisan ini darimana?
Karena aku juga
sejujurnya tidak tahu, sebenarnya… kapan ini bermula?
Mungkin… dari kata
orang ..
Semua orang sibuk
mendeskripsikan cinta
Menulisnya dengan
tulisan yang tiap hurufnya kita perhatikan arti dari setiap garis, tinggi
huruf, ketebalan, hanya demi kesan estetika dari cinta itu sendiri
Menggambarkannya dengan
segala gambaran bak khayalan tingkat tingkat tinggi
Menuangkannya dalam
segala hal berdasarkan ideology masing-masing
Menceritakan,
mengungkapkan, dengan cara dan proses masing-masing
Tapiii.. mungkin kau
akan tahu perbedaan dari caraku.
Aku tidak menuliskannya
untuk diberikan, tidak menggambarkannya dengan sejuta perumpamaan indah tentang
dirimu, aku juga tidak mengungkapkannya dengan segala proses yang dibuat-buat.
Yang kutahu hanya 1,
bahwa ini cinta. Aku tidak tahu bagaimana caranya menuliskannya, menggambarnya,
mengungkapnya.
Ketika orang bilang
cinta itu indah
Cinta itu bahagia
Cinta itu uang
Dan msh bnyk lg
Jika aku bilang cinta
itu indah, lalu ketika peristiwa buruk dengan membiarkan kekasih pergi apa itu
bukan cinta?
Jika aku bilang cinta
itu bahagia, jadi jika kita menangisi kekasih yg pergi apa itu bukan cinta?
Jika aku bilang cinta
itu adalah uang, jika saja uang itu habis, apa cinta itu habis?
Bagiku…
Cinta itu adalah ketika
dengan mata yang sama, tetapi melihat orang-orang yang berbeda , tapi Cuma dia,
SATU! Yang bercahaya
Dengan hanya satu otak,
begitu banyak hal yang perlu diingat tapi hanya dia yang tanpa perlu kita sibuk
mengingat selalu muncul di sela waktu
Dengan hanya satu hati,
diantara jutaaan orang yang pantas dihargai, tapi hanya dia yang tertulis
Dengan satu jantung,
diantara banyak hal didunia ini , hanya dengan melihat wajahnya, aku tahu ini
cinta
Singkatnya, cinta itu
yaa… dia
Jika saja ia tak lagi
indah, jika saja ia tak lagi beri bahagia, jika saja ia tak bisa beri uang
banyak,
Cinta itu yaa….
Dia..dia..dia kemudian titik!
Minggu, 19 Mei 2013
Sebutir Beras Untuk Ayah
Terinspirasi
dari keringat-keringat ayah-ayah di dunia ini, yang tiada mengeluh betapa
banyak tuntutankita terhadapnya, dan kita selalu menuduhnya ‘tidak pengertian’
jika itu tidak dipenuhi padahal ayah tidak pernah menuntut pengertian kita
untuk mengerti betapa kerasnya usaha yang dia lakukan bahkan hanya untuk sebutir
nasi.
Sebutir
Beras Untuk Ayah
Aku Riana,
usiaku tujuh belas tahun, yang kata orang umur sedang banyak maunya, mau
kelihatan cantiklah, inilah, itulah. Aku juga sedang banyak mau. Tapi
keinginanku mungkin cukup sederhana untuk orang-orang diluar sana. Aku hanya
ingin…. Nasi.
Ibuku adalah
seorang ibu rumah tangga dari tiga orang anak dan aku adalah anak bungsunya,
kata orang anak bungsu dimanja-manja, tetapi sepertinya tidak bisa berlaku
didalam keluarga kami. Ayahku seorang buruh kasar di desaku, seringkali ia
tidak memiliki pekerjaan dan mencari-cari pekerjaan dari matahari mulai
menampakkan hidungnya sampai matahari menyelimutkan dirinya dalam senja. Ibuku
pun menjual anyaman untuk menambah penghasilan, tapi yaa tidak banyak yang
membeli walaupun kami tinggal di perumahan kumuh sekalipun. Kakak tertuaku
pergi dari rumah dan tak kembali ketika ayah berhasil menguliahkannya sampai
ayah tak memiliki sepeser pun saat itu, entah apa yang ada dipikiran kakakku,
dan kakak kedua ku sekarang dia sudah dipinang oleh seorang laki-laki, yang
juga tak jauh-jauh dari kalangan kami. Yaahh aku mulai memaki-maki FTV-FTV,
mana mungkin seorang miskin bisa dapet orang kaya? Wong gaulnya aja ama sesama
miskin, yaah seperti kami. Sekarang kalian bisa imajinasikan keadaan kami?
Hari ituu, aku
berkali-kali mengeluh dada didalam kamar, aku mogok makan. Padahal tak ada yang
bisa dimakan, yaa terkecuali nasi aking yang didapat ayah dari sisa masak
pembantu di rumah perkomplekan di dekat rumah kami. Rumah kumuh kami memang
dekat dengan komplek, dan kalian tahu? Mereka hanya mengeluhkan betapa baunya
kamu dengan sampah-sampah kami, seperti mereka benar-benar bukan sampah saja!
Aku mengambil
buku tulis lusuhku yang tinggal hanya selembar, aku sungguh ingin menulis, aku
suka menulis, tapiiii jika aku tulis selembar ini lalu besok aku harus tulis
dimana pelajaranku? Kalian kaget aku sekolah? Jangan kaget begitu! Memangnya
hanya orang-orang kaya yang sanggup sekolah? Aku benar-benar muak dengan
kesadaan ini dan aku berniat merubahnya, aku bersekolah di suatu SMA swasta
bagus di daerahku, gratis sampai lulus. Tapi jarak sekolah dan rumahku lumayan
jauh dan menyebabkan aku selalu terlambat, tapi karna aku pintar, aku tidak
pernah diberi hukuman seperti yang lain. sombong? Yaa aku memang sombong,
terlebih saat aku SMA ini. Aku menyesal ayah. Kenapa kau tak kembali?
Hari itu, hari
dimulainya peristiwa yang aku sesali seumur hidupku. Aku mulai bosan dengan
harus berjalankaki setiap hari, ibu dengan baju bolongnya yang terlihat ga
bergaya, ga bisa aku pejeng didepan teman-teman dan bilang dengan bangga “Ini
ibuku!”, terlebih ketika aku mengingat
peristiwa di kelas ketika ada tugas maju ke depan dan menceritakan keluarga,
mereka bilang “ayahku lulusan Harvard”, padahal aku juga gatau saat itu Harvard
itu nama sekolah apa, tapi karena semua pada menganga mendengar kalimat itu,
pasti itu keren. Kemudian ada yang bilang “Ibuku duta luar negeri” “Ibuku ini”
“Ayahku itu” daaannn tibalah giliranku.
“Mmmmm, aku..”
TENG…
TENG…TENG…
“Wah sayang
sekali Riana, mungkin kita bisa mendengar ceritamu lainkali, sekarang kembali
ke bangkumu karena kita akan berdoa untuk pulang.”
Terserah kalian
mau bilang aku malinkundang atauapapun aku senang sekali dengan bel itu, begitu
tepat. Tapi tetap saja aku menyimpan rasa kesal karena kejadian itu, aku terus
berpikir jika aku harus bercerita tentang orangtua, keluargaku, apa yang bisa
sedikit dibanggakan? Sepertinya tidak ada! Rumah reot! Lingkungan kumuh! Uang
seribu yang begitu mewah! Makan pizza seperti mimpi! Bahkan makan es krim
magnum yang katanya enak itu seperti mimpi! Aku benci ini semua, akhirnya aku mengurung
diri dan tidak mau keluar.
“Anaaa, ayooo
makan ana”
“Emang ada yang
bisa dimakan Bu? Nasi aking itu ga layak dimakan buu, akuuu mau nasiii, udah
hampir 4 bulan makannya ini mulu, makanan paling mewah saja nasi aking plus
telur ceplok! Itupun satu dan dipotong tiga! Aku ga mau makan kalo ga ada
nasiii, emang gaji ayah kemana siiihhh? “
“Ayah sedang
tidak memiliki pekerjaan nak, dia sekarang sedang berkeliling untuk menyemir
sepatu”
“Yaa trus duit
ayah nyemir tuh kemana buu? Kemaaaannaaa? “
Ibuku hanya
diam, aku benar-benar tak mau melihat wajah ibuku, dan terus menggerutu.
“Assalamualaikum”
Aku melihat ke
sumber suara yang sepertinya dari ayah yang baru pulang, ibu langsung
mengahmpiri ayah. Aku berdeiri dan melihat mereka dari kejauhan. Wajah cemas mereka, aku bisa menangkap dengan
baik bahwa ayah tidak bawa uang sepeser pun dan mulai gelisah karena anaknya
mogok mau makan nasi. Aku makin jengkel
saja akhirnya aku melewati mereka tanpa sepatah katapun, aku mendengar ibuku
memanggil tapi ku acuhkan. Aku mau keluar dan berjalan sebentar. Aku berjalan
ke sebuah tempat di dekat sawah yang sudah tak terawat, aku duduk di saung yang
lama tak dikunjungi tuannya itu. Aku tertidur.
Saat aku
terbangun, aku memutuskan untuk pulang, sekalipun tak ada nasi aku tetap harus
pulang, karna aku takut kehujananan. Aku bermaksud mengambil jalan terjauh
untuk ke rumah, yaitu lewat jalan raya, banyak took beras disana. Saat banyak
orang aku terjatuh dan tcoba tebak, apa ada yang menolong orang berpakaian
kumuh sepertiku? Tidak! Aku terjatuh di hadapan sebutir beras, tiba-tiba aku
teringat dengan ibu dan ayah, jika melihat banyak orang tapi taka a yang
perduli padaku aku jadi takut dan merasa bersalah pada ayah. Aku mengambil
sebutir beras itu dan memandanginya.
“Gara-gara
kamu, aku jadi begini sama ibu dan ayah!” tanpa sadar air mata jatuh di pipiku,
aku berusaha menghapusnya dan bangkit berdiri bersama sebutir nasi itu. Aku
ingin menyerahkan kepada ayah, aku ingin minta maaf. Yaah walaupun ini hanya
sebutir beras. Aku berjalan dengan
perasaan bersalah, tiba-tiba ada tabrakan di jalan raya, suasana langsung
gaduh,itu menyadarkanku dari semua pikiran-pikiranku, tiba-tiba saja semua
orang mendekati korban, aku juga penasaran tapi aku harus segera pulang. Aku
terus memegang sebutir beras tanda maafku, saat sudah mau sampai rumah, seperti
ada yang memanggilku.
“Anaaaa, kamu
kemana aja!?”
“Aku ketiduran
di saung Bu Ratih, kenapa? Si Rani minta diajarin mtk lagi?”
“Bukaaaan
anaa!” tiba-tiba ibu Ratih memelukku. Kemudian dia melepas pelukannya ketika
warga sibuk membopong seseorang yang berlumuran darah ke rumahku, aku tidak
tahu siapa itu, mungkin kakak tertuaku yang lama hilang, soalnya dibelakang
segerombolan orang itu ibu menangis, aku jadi bingung kenapa ibu nangisin anak
kayak dia. Aku semakin bingun lagi ketika ibu Ratih, tetanggaku yang paling
baik ikut-ikutan menangis, aku jadi gelisah. Aku berusaha mendekati ibu,
ditangannya ada tas bahan warna putih berlumuran darah dan….. beras. Aku
semakin gelisah aku mendekati orang yang dibopong warga, sempat menjinjit
sampai kerumunan orang itu menaruh seseoran itu di atas tikar anyaman ibu yang
baru ¾ selesai.
Entah senapan
mana dan darimana yang menembak tepat dihatiku, nyaris membuatku tersenggal,
memaksa kelenjar airmataku mengeluarkan seluruh airmatanya. Aku masih memegang
erat sebutir nasi untuk ayahku. Aku menangis dan meringkuh dihadapan ayah,
untungnya dia masih bergerak. Berarti dia masih hidup. Aku mendekatinya. Tubuh
penuh darah itu.
“Ayaaaahhh,
akuuu minta maaf ayaahh, Anaa minta maaf, ana gatau harus ngapain dan ngasih
apa biar ayah maafin ana yang kurang ngajar, Ana Cuma bawa sebutir beras tanda
maaf Ana. “
“Maafin ayah,”
katanya pelan sekali dan lirih.
“A.. yah, udah
beli…. Be…rass, kamu.. maa..kann.. yaa” aku melihat ia tersenggal-senggal.
“Ibuuuu! Ibuuu!
Bawa ayah ke Rumah sakit ibuuuuu.” Aku mendekati ibu dan bersujud memohon
padanya. Tapi ibu takmau menjawab. Aku kembali kepada ayah. Aku menangis
sejadi-jadinya dihadapnnya, butir beras yang aku berikan masih ia pegang
kemudian ia telan.
“Berasnya
e..nak. maka..sih yaa. “
Ayah
mengalihkan pandangan ke atas rumah, dan berkali-kali kulihat tubuhnya seperti
berlomba-lomba mengambil oksigen yang sulit masuk ke dalam tubuhnya.
“Ashaduallailahaillah,
wa ashaduaann…naa Muhammadarrosullullah”
Tiba-tiba mata
ayah tertutup. Aku men dekati wajahnya, aku goncangkan tubuhnya berkali-kali,
aku panic. Aku mendekati ibu.
“Kenapa ibu ga
bawa ayah ke rumah sakit buu? Kenapa kesini? Kenapaaa!! Hiks hiks”
Ibu hanya diam,
dan ikut menangis bersamaku.
Beberapa hari
setelah ayah meninggal, ibu mengambil kaleng biscuit tua, aku pikir isinya
jarum dan benang. Ibu hanya mmeberikannya dan meninggalkanku untuk melanjutkan
anyamannya.
Aku membuka
kaleng itu. Ada banyak uang, aku tersenyum melihatnya, aku bisa pakai untuk
beli beras, beli mesin jait untuk ibu, biaya penguburan ayah dann… ada surat?
Untuk biaya kuliah anak bungsu tercinta
saya, Riana Putri.
Tanpa sadar
airmata turun ke pipiku, uang gaji ayah yang selama ini aku pertanyakan kemana?
Kenapa dia ga beliin aku baju atau bahkan sandal untuk mengganti sandalnya yang
sudah tipis sekali. Jadi untuk ini. Jadi untuk ini. Sebutir berasku benar-benar
ga bisa dibandingkan dengan ini! Benar-benar ga! Aku menyesal ayah!! Menyesal!!
Kenapa kau tak kembali? T.T
Senin, 22 April 2013
Aku Melewati Jalan Ini
Tadi
pagi aku melewati jalan ini. Wangi itu masih sama. kemarinpun aku melewati
jalan ini. Wanginya pun sama. dan kemarin lusa aku melewati jalan ini. Wanginya
pun masih sama.setidaknya itu berlaku sejak kurang lebih satu tahun yang lalu.
Aku mencium lara, aku mencium tawa, aku mencium sakiit, aku mencium nafas-nafas
perjuangan yang hampir tersenggal, aku mencium lirih, aku mencium perih, aku
mencium cinta, tapi aku mencium duka. Wangi yang berbeda dari sebuah hal yang
sama. kehidupan.
Dulu,
ketika aku masih berlindung di rumah putihku yang luas itu, wanginya pun hampir
sama, hanya saja kekentalan dari aroma keserakahan lebih besar. Aku dibuat
bingung oleh topeng-topeng berguratan halus itu, aku bahkan tak bisa
membayangkan kasarnya wajah dibelakang topeng. Aku harus bagaimana? Aku pernah
berbincang pada diriku.
Aku :
“Bagaimana mungkin aku bisa percaya apa yang tidak bisa aku lihat, sementara
tak henti-hentinya wanita itu menyebutkan hal itu. Hal yang begitu kejam.”
Diriku:
“Sebelum aku jawab, saya ingin bertanya ‘siapa Tuhanmu?’
Aku :
“Allah”
Diriku
: ”Bagaimana kamu bisa mempercayai Tuhan yang selama ini kamu percayai,
sementara kamu belum pernah melihat, menyentuh-Nya?”
Aku :
“Aku tidak melihat-Nya secara kasat mata tapi mampu melihat berbagai kekuasaan-Nya,
dan Dia mampu melihatku, serta Dia dekat, aku tak menyentuh-Nya, tapi Dia
menyentuhku dengan nikmat-nikmat-Nya, dan aku selalu berbicara dengan-Nya lewat
shalat, dan doa.”
Diriku
: “Lalu apa yang membuat hal yang dibicarakan wanita itu menjadi tak bisa
dipercaya?”
Aku :
“Kali ini kau benar, dia memang tak bisa ku lihat tapi dia dekat, tak bisa ku
sentuh tapi dia bisa menyentuhku dengan godaannya, dan dia selalu berbicara
kepadaku lewat bisikan”
Diriku
: “Lalu apa lagi yang kau pertimbangkan?”
Aku :
“Aku masih tak percaya pada topeng berguratan halus yang memncekik leher wanita
itu”
Diriku
: “ Kita mana tahu, tapi Allah Maha Tahu, percayalah bahwa kebenaran tidak akan
selamanya terkontaminasi oleh kebohongan yang terlihat benar”
Aku :
“Aku mulai mengeluhkan umurku”
Diriku
: “Semua orang pasti bertambah tua”
Aku :
“Bukan itu, tapii semakin aku tumbuh, berita-berita lain yang sejenis dapat
kudengar dengan mudah, seperti memang sengaja membiarkan ku tahu. Sementara
wanita itu adalah ibuku. Bagaimana mungkin aku menyangkal cerita itu? Sementara
itu memang sulit untuk dipercaya.”
Bahkan
musuh sekalipun bisa berubah menjadi teman. Kenapa teman tidak bisa jadi musuh?
Sampai saat ini, itulah yang selalu terbenak. Aku menenggelamkan seluruh
kepenatanku tentang itu.
Kini
aku bicara teringat sahabat. Ada yang bilang temanmu saat ini menentuka temanmu
di tiga tahun mendatang. Sepertinya itu benar. Aku mencium jalan yang hitam,
seolah ada larutan dengan kepekatan tingkat tinggi di dalamnya, aku hampir
terperosok kedalamnya, seandainya tak ada tangan-tangan yang menggenggamku dan
menarikku. Sekarang aku pun berjalan normal lagi di jalan ini, tapi jalan itu
hampir tak bisa aku lupa. Bahkan seorang teman bisa menjerumuskan kita tanpa
memaksa kita melewati jalan hitam itu, beruntung aku punya teman baik yang
menyelamatkanku.
Aku :
“Bagaimana mungkin manusia bisa tidak menggunakan hatinya?”
Diriku
: “Mudah. Karena manusia punya nafsu”
Jangan Sampai Ayah Tahu
Anti
sedang merenung ketika teman disampingnya berkali-kali memanggil namanya.
“Antiiii!!!”
Anti
hanya memasang wajah kaget dan menoleh ke arah temannya, temannya kemudian
melanjutkan omongannya, Anti memperhatikannya tapi tidak menyimaknya.
Pikirannya sedang tertuju pada satu tanggal. 26 April 2013.
15
April 2013, Anti ditelpon oleh seseorang yang tiba-tiba datang dalam
kehidupannya bak malaikat. Bagaimana tidak? Dia sedang bingung membayar semua
tagihan-tagihan biaya kuliah yang tidak mampu ia bayar, dari Rp 12.000.000 uang
semester yang harus dia bayar kemarin, ia baru bayar Rp 100.000 dengan
penandatanganan hitam diatas putih bahwa pada tanggal 26 April besok, ia harus
melunaskan itu atau dikenakan denda. Beban pikiran-pikiran yang membuat Anti
stress itu berkurang ketika seseorang datang menawarkan beasiswa yang
sepertinya menarik dan sangat membantu biaya kuliahnya, pada hari itu orang
yang tak lain adalah teman sekampus Anti ingin datang ke rumah Anti, untuk
memfoto rumah Anti. Anti bingung, bukan karena ia lupa alamat rumahnya, jelas
bukan! Tapi, mengingat rumahnya yang bisa dibilang bagus, dengan dinding
permanen, genteng dan lantai keramik, bagaimana mungkin dia bisa meyakinkan
temannya bahwa dia memang sedang butuh bantuan sekalipun rumahnya bagus.
“Rumah
yang gua tinggalin ini warisan dari nenek, ayah tadinya cuma marbot masjid, dan
sekarang baru kerja dua bulan jadi tukang sapu parkir di suatu kampus, mama
sakit dan belum pulih, gua sendiri bekerja untuk menambah uang jajan dan
membeli alat-alat kuliah. Kalo ga kerja mana bisa beli biar kata cuma sepatu
abal yang harganya Rp 35.000”
Teman
Anti hanya diam seolah terhenyak dengan semua cerita-cerita Anti.
“kayaknya
gua pernah ngobrol deh ama bokap lu, pas bokap lu masih jadi marbot masjid di deket
kosan gua”
“Gua
tau kok. Soalnya waktu itu bokap pernah cerita, dan yang gua tau temen sekampus
gua yang ngekos deket kampus ya lu.”
Sejenak
keadaan hening.
“Haaaaaahh!”
Anti menghela nafas seolah udara tiba-tiba menjadi begitu berat sekarang.
“Kalo
seandainya gua certain ini ke orang banyak dengan kondisi rumah yang bisa
dibilang bagus walaupun ga mewah ini, mana ada yang percaya. Sebenarnya gua
takut ikut beasiswa yang pake liat rumah karena ini, gua pasti dianggap ga
layak, padahal gua bener-bener butuh”
“Iyaa
gua juga bingung sih jelasin ke orang yang ngurus beasiswa ini, yaah doain aja
semoga mereka percaya, tapi gua percaya ko, soalnya gua pernah ngobrol ama
bokap lu jauh sebelum gua diamanatin ini, dan ceritanya sama kayak lu”
“Sertifikat
tanah ini juga digadain buat biaya kuliah gua, ditambah utang-utang lain, gua
kadang pengen nangis ngeliat bokap gua yang suka minjem sana-sini, kalo
tiba-tiba orangnya nagih dan suka kasar nagihnya tuuhh sakit gua ngeliatnya,
sakiit banget”
“Udah
Ti, nanti gua omongin sama orang yang beasiswa ini, tapi gua ga berani jamin lu
dapet dan dia bisa percaya yaa”
“Iyaa
gapapa, setidaknya gua udah usaha, gua juga lagi nunggu beasiswa tapi belum
keluar-keluar pengumumannya di kampus padahal gua lagi butuh banget”
Keadaan
kembali sunyi. Teman Anti membuang pandangan ke setiap sisi rumah Anti, ibu
Anti sedang mencuci baju, mencuci baju manual bukan dnegan mesin cuci.
Ahhhh, pusing kalo dipikirin mulu,
ga ada habisnya.
Anti
kemudian menyandarkan diri di dinding yang dingin di kamar temannya yang masih
sibuk bercerita itu, entah apa yang diceritakan Anti tidak menyimak, hanya
memperhatikan. Dia memejamkan matanya berharap jika ia membuka mata ini semua
sudah berakhir. Tapi ternyata tidak! Itu tidak bisa. Kemudian ia memejamkan
matanya sekali lagi.
16
April 2013, ketika Anti pergi ke kampus dan masuk ke ruang administrasi untuk
mengurus absensi yang bermasalah tentang dirinya…
“Iya
pak, jadi tuh saya pernah bicara sama Pak Januadi yang ternyata ayahnya, dan
memang benar dia marbot masjid pak, dan ceritanya pun ga beda dengan yang
diceritakan si anak”
“Tapi
kan dia rumah warisan, seharusnya ada duitnya doong pas pindah rumah? itu
duitnya kemana aja cobaa?”
JLEB.
Sebagaimana busur yang terlepas dari panahnya dan melesat menembus lapisan-lapisan
udara pelindung yang sebenarnya sudah tipis, menusuk tepat di hati Anti ketika
mendengarnya. Anti bermaksud untuk segera pergi dari ruang itu sebelum temannya
itu menyadari dirinya ada disana dan mendengar ketidakpercayaan dari beberapa
dosen yang ia ajak bicara itu.
Rasanya
ingin menangis. Berkali-kali Anti mendongakan kepala dan menarik nafas
dalam-dalam dan berpura-pura mengucak matanya dihadapan kerumunan teman
kampusnya hanya untuk menyembunyikan keinginannya untuk menangis.
Adakah yang percaya, dan memberi
sedikit saja keringanan? Saya bukan orang yang pemalas, nilai saya pun tidak
buruk, disaat orang-orang tengah sibuk beli baju, sepatu, make up yang harganya
menjulang, saya justru berpikir ‘apa besok kami bisa makan?’ dan tidak pernah
berhenti berpikir ‘bagaimana saya harus membayar tanggal 26 besok’ saya tidak
peduli jika saya sakit, tapi ayah saya pasti lebih sakit jika mendengar ada
yang tidak percaya, bagaimana saya harus menceritakan ini?
Pikiran-pikiran
itu mulai mengganggu ketenangan Anti, dia memutuskan untuk tidak menceritakan
kejadian itu pada ayahnya. Entah apa yang akan dia lakukan lagi untuk 26 besok.
Anti
membuka matanya kemudian mendapati temannya ada dihadapannya, dan tiba-tiba
temannya memeluk Anti.
“Lu
kenapa Ti? Gua minta maaf kalo gua terlalu sibuk dengan masalah pribadi gua,
dan ga sadar kalo teman gua lagi nangis”
Anti
pun meledak saat itu, setidaknya pelukan itu dan tangisan yang ia keluarkan itu
mampu mengurangi beban batin yang ia tanggung. Yaah, setidaknya sedikit berkurang.
Langganan:
Postingan (Atom)