Sabtu, 18 Agustus 2012

Sebotol Impian


novel pertamaa, selamat menikmati...
Prolog
 “Aku akan datang kembali, kita akan bermain lagi, Ri”
Tari hanya terdiam kemudian menundukkan kepala, dan menyembunyikan kepalanya dibelakang kedua tangannya yang dilipat diatas lutut.
“Kita pasti ketemu lagi, Riiii. Nanti kalo kita ketemu, aku udah jd dokter, dan kamu….Mmmm” kafka tidak melanjutkan  perkataannya dan menggaruk-garuk kepalanya, hal yg biasa ia lakuakan jika ia sedang berpikir.
“Aku mau membuat gedung!” kata-kata Tari mengagetkan Kafka yang sedang berfikir. Tari berdiri dan menatap Kafka lekat –lekat.
“Dalam waktu 12 tahun, kamu akan melihat gedung indah yang aku rancang, berdiri kokoh di Ibukota!”
“Arsitektur maksud kamu, Rii?”
“Aku gatau kaa, namanya apaaa”  Tari berkata sambil memberikan senyum yang memperlihatkan gigi-gigi indahnya. Manis.  Tanpa sadar Kafka juga tersenyum.
Semilir angin tiba-tiba berhembus menyapa, tapi kali ini lebih dingin. Terlalu dingin hingga merasuk ke sela-sela saraf  dua anak yang baru saja lulus SD itu, lebih-lebih mereka berada di pinggir pantai. Tak peduli betapa dinginnya pantai, mereka masing-masing menuliskan sesuatu dalam secarik kertas. Tari melihat tulisan tangan Kafka pada kertas itu.

Aku ingin jadi seorang dokter

Kemudian Kafka memasukkan kertas itu  ke dalam botol, dan dia menengok ke arah Tari lalu berusaha melihat apa yang ditulisnya, tapi terlambat. Tari sudah memasukkan kertas yang telah dia tulis ke dalam botol, kemudian ia menutup botol itu dan melemparkannya jauh-jauh ke arah laut. Sepertinya Kafka tengah menebak-nebak apa yang Tari tulis di kertas itu. Mungkin….


Sepuluh tahun kemudian….
Kafka
Sore ini cerah sekali. Awan terlihat begitu lembut dari dalam pesawat, seolah merayu-rayu agar aku menggenggamnya. Hahaha, aku meraasa terlalu merindukan ini, terlalu merindukan awan ini. Aku mengalihkan pandangan ke dalam pesawat. Pramugari sedang sibuk memberikan aba-aba kepada penumpang agar mengenakan sabuk karana pesawat akan mendarat, semua sibuk mengikuti aba-aba pramugari tersebut termasuk aku. Ku arahkan pandanganku ke bangku di sampingku. Orang di sampingku tengah tertidur pulas dengan cantiknya, seperti putri tidur. Kulitnya putih seputih Putri Salju, dan bibirnya merah semerah Delima.  Tanganku berusaha merapikan rambutnya yang tertiup angin sehingga menutupi wajahnya, dan berusaha membangunkannya. Dia adalah, Rafika. Kekasihku.
“Kenapa ,Ka? Kita udah mau sampe yaaa?”
“Iya Fik. Kamu pake sabuknya yaaa”
Aku tersenyum dan  menatapnya yang sedang sibuk mengenakan sabuk.
“Kamu kenapa? Kok ngeliatin aku?“
“ Enak ajaa, siapa yang ngeliatin kamu. GR! Iler kamu tuh di pipi!”
Fika sibuk mengelap pipinya berkali-kali, dia sepertinya bingung, karena tidak menemukan sama sekali air liur :p.
“ Manaaa? Ga ada kok! Kamu bohong yaaaa? “
Dia menjewer  telingaku, dan sumpah, rasanya sakit banget. Tapi gapapa sih, kalo yang jewer dia mah. Ampe putus juga relaa. Eh tp  jangan deh :P

Tari
“Tariiiiii! Tariiiiiii!”  terdengar suara bingar yang bisa membuat kepalaku pecah jika aku mendengar itu lebih lama lagi. Akhirnya  aku baerusaha bangun dan beranjak dari tempat tidurku kemudian  mendatangi asal suara itu. Sambil menguap, aku membuka pintu dan……
“Ini udah jam berapa Tari? Nanti kamu terlambat  kuliah!” Aku yang entah belum sadar betul atau apa, justru tidak menanggapi perkataan Ibuku itu. Ibuku cantik, kata orang malah cantikan Ibuku daripada aku -_-. Dia dari kampung dan bukan berasal dari keluarga berada, kemudian dia merantau ke Jakarta. Dia orang yang tangguh dan rela berkorban, dia bahkan rela tidak melanjutkan sekolah  SMAnya untuk bekerja dan membiayai sekolah keempat adiknya. Dia ga terlalu tinggi, rambut indahnya yang hitam lurus sekarang berubah putih dan entah modelnya apa, keriting ga, lurus juga ga. Sejak Ayah berhenti bekerja dan rugi karena peternakan sapinya yang menyebabkan besar pasak daripada tiang, bahkan bisnis susu Ayah pun di fitnah, sampai Ayah harus ganti rugi, Ibuku tidak pernah merawat dirinya. Yang penting anaknya bisa sekolah. Begitu fikiran dan ucapaannya. Tapi yaaa tetep aja dia cantik, awet muda.
“Tari!” aku tersadar dari lamunanku, seluruh sukma ku rasanya langsung  berkumpul dan membuatku 100% sadar.
“Yaudah sana! Sekarang mandi!  ini udah jam berapa? Ntar kuliahnya telat”
“Astagfirullah, aku lupa!”
Aku bergegas menutup pintu kamarku lagi, kemudian masuk ke kamar mandi. Dibelakang pintu mungkin Ibu hanya menggelenggkan kepala dan pergi bergegas menyiapkan makanan. Yah, beginilah kebiasaanku, selalu bangun siang eit bukan berarti aku begadang karena hal yang tidak penting. Aku kuliah di pagi hari dan kemudian bekerja di Pizza Hut di sore hari, pulangnya aku harus menyelesaikan tugas kuliahku dan aku tidur. Aku bangun jam 5 subuh, sahlat, tapi tidur lagi, hehehe jadilah aku kesiangan.
20 menit kemudian aku keluar dari kamar dalam keadaan rapi dan siap untuk berangkat kuliah.
“Tari! Makan dulu kamu nanti sakit.”
Aku langsung bergegas ke meja makan, duduk dan memakan habis semua yang ada di piringku, yaaa meskipun hanya telur goreng dan nasi putih yang diberi kecap. Selesai makan aku langsung meneguk segelas air putih dengan sekali gerakan dan berpamitan kepada kedua orangtuaku. Aku naik sepeda sampai ke kampus, maklum ga ada kendaraan dari rumahku yang bisa langsung ke kampus, padahal jaraknya lumayan dekat, tapi kalo naek angkot harus muter-muter dulu.
Sesampainya di kampus aku langsung terbirit-birit memarkir sepedaku dan masuk ke kelas.
BRAK!
Aku jatuh, dan orang yang aku tabrak pun ikut jatuh, kertas-kertas dan buku-buku yang dibawa orang itu berhamburan, Aku yang panik dan cemas karena sudah telat masuk kelas, langsung meminta maaf, kemudian berdiri dan berlari menuju kelas tanpa membantunya membereskan buku.
“Fiuh, untung ga telat”
“lu ngapa ri? Kayak orang abis perang. Haha”  kata salah satu temanku di kelas. Oke, aku ralat. Satu-satunya temanku di kelas. Well, aku susah bersosialisasi tapi ini tuh karena aku ga bisa mengikuti  pergaulan mereka. Bukan berarti mereka golongan high, hanya saja aku terlalu sibuk dengan cita-citaku untuk membuat design gedung sehingga aku tidak pernah menghiraukan kegiatan lain selain belajar, sementara mereka yang lain sibuk dengan kegiatan mahasiswa dsb, macem-macem deh, emang cuma Vivi yang ngerti. Dia ga pernah tersinggung kalo ajakannya selalu aku tolak. Vivi sebenarnya termasuk golongan berada, cantik dan pintar, dia banyak dikagumi para mahasiswa laki-laki disini, dan sekalipun semua orang sebal denganku karena aku gamau bersosialisasi, dia tetap menjadi sahabayku.
“Gua nyaris telat  viiii”
“Slow, emangnya lu gatau ada mahasiswa baru di kelas kita, dan Pak Bono sibuk ma dia deh, jadi agak telat”
“Emang yaa? Gua gatau vii” aku tersenyum dengan memperlihatkan gigi-gigiku yang kata orang sih indah, membuat senyumku manis J
“lu mah apa yang tau sih viii”
Tiba-tiba Pak Bono datang dengan seorang mahasiswa yang bisa dibilang Ganteng juga. Ups. Aku ga boleh begini. Aku harus fokus kuliah.  Aku bukan berasal dari golongan orang berada, tapi miskin juga ga juga sii, cuma pas-pasan aja, aku mengandalkan beasiswa untuk biaya kuliahku, jadi IP harus terus baguus.
“Anak-anak! Ini adalah teman baru kalian. Namanya Restu” kata Pak Bono sambil tersenyum kepada semua mahasiswa yang ada di kelas.
“Nah, Restu, sekarang kamu bisa duduk dan belajar seperti yang lain”
Tubuhnya tinggi, matanya hitam, kulitnya coklat dan membuatnya terlihat manis, senymnyaaaaaa….. Oh My God! Dia duduk disamping akuuu. Aku berusaha ‘stay cool’  dan tidak meliriknya sama sekali, dan well…. Aku udah tau pasti begini! Dia ngajak kenalan Vivi yang ada dibelakangku. Damn! Kenapa aku harus ngurusin yang begituan, FOKUS!


Kafka
Akhirnya aku bisa menginjakan lagi kakiku di pantai ini. Anyer….. kau masih seperti yang dulu. Sederhana, tapi penuh cerita. Aku memutuskan untuk mendekati pantai sambil sesekali mengambil foto, Fika masih sibuk di penginapan membersihkan barang-barangnya. Ibu Fika sudah lebih dulu ada disini, kami hanya menyewa satu penginapan. Tapi itu cukup untuk kami berempat. Ibu Fika dan Ibuku satu kamar di bawah, Fika di kamar yang ada di depan kamar Ibu-Ibu itu, dan aku di kamar atas, yang paling kecil, tapi menurutku itu ga masalah, karena aku bisa menikmati pemandangan, terlebih, kami memilih penginapan yang paling dekat dengan pantai.
Tiba-tiba ada yang menyentuh kakiku. Sebuah botol. Seolah ombak memang menitipkannya padaku. Aku berharap ini adalah botol yang sama dengan 10 tahun yang lalu. Kubuka isi botol itu, dan kutemukan kertas.

Aku mungkin hanyalah manusia biasa. Berjalan dengan dua kaki, bukan empat. Memiliki dua tangan, bukan empat atau lebih seperti dewa. Aku hanya seorang perempuan yang berusaha menggapai  mimpinya. Berjalan biasa diatas jalan yang tak biasa. Begitu yang sering dikatakan ayah.  Jika orang mengerjakan tugas hanya cukup menyalakan komputer atau leptopnya, aku harus pergi  ke rental yang lumayan jauh dari rumahku, bukan berarti di dekat rumahku tidak ada rental, hanya saja rental langgananku itu jauh lebih murah. Jika orang hanya tinggal meminta pada orangtuanya untuk biaya kuliah, aku? Aku harus mencari beasiswa, bahkan  Ayahku sampai berhutang sana sini. Sekali lagi, aku hanya orang biasa yang mempunyai mimpi luar biasa. Kertas ini akan menjadi saksi, aku menangis menulisnya, aku lelah direndahkan, lelah dicela bahkan oleh saudara-saudaraku sendiri. Mereka bilang “ngapain si kuliah, mending juga kerja! Orang duitnya ga ada!” . well, sakit banget dengernya, hahahaha tapi aku harus terus berjalan. Yaaa, berjalan seperti biasa. Berjalan biasa di jalan yang tak biasa.

Aku terhenyak membacanyaa, aku mungkin termasuk orang biasa yang berjalan di atas jalan yang biasa. Walaupun aku menuntaskan S1 dokterku dalam waktu tiga tahun, tapi biaya kuliahku ditanggung orangtua, aku tak perlu ke rental untuk mengerjakan tugas, serba gampang deh. Aku jadi malu dengan gadis yang menulis ini, aku tak lebih mandiri dari dia. Dan mungkin tak lebih kuat dari dia.
“Kaaaaa!”                                                                                        
“Eh, FIk. Udah selesai rapi-rapinya?”
“beloman sih. Tapi aku disuruh jemput kamu buat ngajak kamu makan”
“Ooh, oke. Nanti aku nyusul, 5 menit lagi yaa. Kamu ke penginapan lagi aja duluan”
“okee”
Aku melipat kertas itu dan memasukkannya ke kantong. Kemudian dengan pulpen yang biasa kusangkut di rompiku, dan secarik kertas yang ada di sakuku. Aku menulis sesuatu, dan memasukkannya ke dalam botol.
Aku melemparkan botol yangsama dengan isi yang berbeda kea rah pantai, dan berharap yang membacanya adalh gadis itu. Semoga.
Tunggu, kenapa dengan mataku? Semua terlihat seperti memburam, lama-lama luntur , dan tiba-tiba HITAM.
Tari
Aku lagi-lagi memandang secarik kertas yang terpampang di dindingku. Diatas secarik kertas itu, aku menuliskan target-targetku.
·         Tamat kuliah dengan IP yang tinggi;
·         Dapat kerja yang nyaman, gaji lumayan;
·         Mendesign gedung yang indah.
Aku harus bisa! Dan aku pasti bisa!  Aku berusaha menghentikan angan-anganku yang masih jauh itu, dan kembali belajar….
“Tari”
Aku terbangun, dan sadar kalau aku sudah tertidur di meja belajarku, dan buku-bukuku berantakan. Tiba-tiba aku teringat sesuatu.
“Jam berapa ini , Bu?”
“Jam 5 , Ri”
“Ya ampun Tari harus kerjaa” Aku panik , dan akhirnya hanya mengambil baju kerja dan pergi ke kamar mandi, kemudian bergegas ke tempat kerja tanpa memperhatikan omongan Ibu untuk makan.
Ku kayuh sepeda dan terus ku kayuh. Jarak tempat kerjaku dan rumah memang tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat, yaah lumayanlah. Lumayan membuat kaki pegal untuk mengayuh terus maksudnya.
Setelah sampai di tempat kerja, aku langsung memakirkan sepedaku dan bergegas masuk ke dalam tempat makan itu, Pizza Hut . namun belum sempat masuk, ada yang membuka pintu bermaksud keluar, atau mungkin bermaksud memarahiku.
“Tari!Kamu ini, sudah berapakali terlambat?”
“Maaf, Pak. Saya ketiduran” jawabku sambil menundukkan kepala. Bosku yang gendut, memiliki kumis panjang itu mendekatiku dan berkata
“Ini gaji kamu bulan ini, kamu saya pecat!”
Aku yang tadinya menunduk sontak kaget dan mengangkat kepalaku, aku masih bingung tapi Bosku sudah entah kemana sebelum aku bisa mencerna semua perkataannya. Aku menagis. Tapi aku tak berkata apapun, atau mencoba membeladiri dan menyalahkan dunia. Aku hanya menangis kecil, kemudian pergi dengan sepedaku. Mengayuh dan terus mengayuh. Menuju rumah. Aku melihat serentetan gedung-gedung di perjalanan pulang, mereka juga pasti menyembunyikan kisah pahit sepertiku ini, apalagi kalau bukan dipecat.   
Sesampainya di rumah, raut wajahku belum juga membaik, aduuh bagaimana jika Ayah da Ibu tau kalau aku dipecat? Mereka pasti sedih. Belum sempat ku parkirkan sepeda dengan benar, dari rumah terdengar teriakan.
“Ibuuuuuu! Tolong! Tolong!”
Aku segera masuk ke rumah dan mendapati Ibuku pingsan. Aku dan ayah sangat panik. Ayah berusaha meletakkan kepala Ibu di pahanya, aku langsung bergegas keluar dan pergi ke jalan raya yang tepat di depan rumah. aku menghentikan angkutan umum yang lewat dan menyewanya untuk membawa Ibu ke rumah sakit.

Rafika
“Fik, kamu coba deh cek Kafka di pantai, kok lama banget yaaa, “
“Ohh, iya tantee Fika ke pantai dulu yaaa”
Aku berjalan menyusuri pantai, dan membiarkan kakiku emnyentuh butir-butir pasir yang kasar, aku merasakan dinginnya angin pantai dan terus menerawang ke setiap sisi pantai mencari keberadaan Kafka. Tapi sejauh ku memandang, hanya pantai dan pasir yang dapat kulihat, dan sebuah topi hitam yang ku lihat  mengapung di air dekat bebatuan. Eit, tunggu topi hitam? Kafka?
“ Tolong!Tolong!Tolong!” aku terus beteriak hingga ada orang yang menolongku untuk membawa Kafka ke penginapan. Aku sangat panik. Kafkaaa, kamu kenapa? -_-
Tari
Sesampainya di Rumah Sakit terdekat, Ibuku masuk ke ruang ICU. Kami menunggu di luar selama tiga jam, sampai  akhirnya seorang dokter keluar dari ruang itu.
“Kalian keluarga dari Ibu Ayu?”
“Iya Dok, saya Fahmi suami dari Ibu Ayu dan ini anaknya”
“Istri Bapak harus segera di operasi, keadaannya sangat kritis, dia menderita tumor otak dan sudah sangat parah. Operasi paling lambat dilakukan esok hari”
Aku dan Ayah tidak bisa berkata-kata, masih sibuk menelan semua perkataan yang baru saja kami dengar dari Dokter.
 “Baiklah Pak, lebih baik Bapak mengurus keuangannya, agar isteri Bapak bisa segera dioperasi”
Dokter pun berlalu, kemudian ayah pergi, sepertinya untuk mengurus keuangan. Aku menunggu didepan ruangan Ibu, menatapnya dari jendela. Dia dalam keadaan yang tak berdaya, oh God apa yang harus aku lakukan?. OrBanyak orang bilang dia cantik, tapi dalam keadaan seperti ini, dia… kasihan, seolah raut wajahnya menggambarkan kesepian di kegelapan masa kritisnya. Apa ia sendirian disana?
 “34juta rupiah,Ri” Tiba-tiba Ayah sudah ada disampingku, berkata dengan lemas dan duduk di kursi tunggu yang berada tepat di depan ruangan Ibu.
“Tari punya sekitar 7juta Yah. Nanti biar Tari cari cara buat nemu sisanya. Yang jelas Ibu pasti akan segera dioperasi Yah. Tari janji! “
Aku menatap kaca ruangan Ibu lagi, melihatnya lekat-lekat, tubuhnya yang dipenuhi oleh alat-alat yang entah itu apa, terlalu banyak selang di tubuhnya. Rumah sakit ini kenapa tiba-tiba berubah menjadi ruang penyiksaan? Batinku tersiksa melihat ini semua. Tiba-tiba airmata sudah jatuh ke lantai putih, yang sepertinya terlihat lebih dingin dari biasanya. Semua disini bewarna putih, dimuli dari cat dinding, lantai putih tanpa motif, seprai tempat tidur, semuanya putih, tapi kenapa aku menemukan kegelapan dari keputihan itu, kegelapan yang menenggelamkanku dan Ayah dalam panik, takut, dan bingung. Aku bergegas menghapus airmataku dan melihat ayah.
 “Tari pergi dulu yaa Yah, Tari mau cari sisanya.”
“Tapi Ibu kamu harus segera dioperasi paling lambat besok, Ri. Kita harus cari kemana?”
“Yah! Kita masih punya Tuhan! Aku yakin kita bisa mencari sisanya Yah, aku yakin!” aku berkata seperti orang yang putus asa tapi tetap menyemangati dirinya, sambil meldakan tangisku.
“aku pamit Yah.”

Kafka
Tiba-tiba sekelebat cahaya putih mendekat, dan terus mendekat, aku seperti terhisap olehnya, terus terhisap ke dalamnya. Aku mungkin belum membuka mata, rasanya berat, tapi aku sudah sadar. Bau ruangan ini sangat tidak asing. Aku membuka mataku perlahan-lahan. Aku.. di RUmah Sakit
“Ka, kamu gapapa?”
“Gapapa, Ma. Cuma agak pusing ajaa.”
“Ginjal kamu harus dioperasi sayaaang”
“Operasi Ma?”
“Iya, kita sedang mencari pendonor untuk kamu.”
Mama memelukku yang masih terbaring di tempat tidur sambil menangis.
“aku gapapa, Ma.”
“Tadi kamu pingsan di pantai, Fika langsung membawa kamu ke penginapan lalu kami memutuskan membawa kamu ke rumah sakit ini karena takut kamu kenapa-kenapa. Setelah ini kita pulang yaa, kita ke dokter pribadi kamu yang ada di Jakarta”
Aku tersenyum kecut.
“lucu ya Ma. Dokter  punya dokter pribadi. Maaf yaa Ma, gara-gara Kafka liburan kita jadi buruk begini”
“Gapapa, sayaang. Mama lebih baik kehilangan liburan dibanding kehilangan kamu”
Fahmi (Ayah Tari)
Aku berusaha menahan perih di hatiku, yang semakin lama semakin menjadi ketika melihat isteriku terbaring tak berdaya di dalam sana. Airmata tiba-tiba menetes di pipiku yang mulai penuh dengan keriput-keriput, yang menjadi saksi umurku. Suami apa aku ini? Aku hanya diam disini? Membiarkan anakku senidirian mencari uang? Aku harus mencari cara. HARUS! Apapun!
Sekelebat ide terlintas di fikiranku, aku menatap lagi jendela itu,
“Aku mencintaimu, isteriku”
Aku pergi meninggalkan ruang itu, jendela itu, tubuh itu, Rumah Sakit itu, segalanya. Aku harus berjuang!
Aku pergi melintasi jalan yang begitu kaku, atau justru hanya terlihat kaku? Aku membawa papan yang cukup besar, hanya ini cara yang bisa aku lakukan. Di Jalan yang cukup ramai oleh mobil-mobil, aku berhenti. Aku menyeberang, hingga aku berada di tengah jalan raya. Aku menarik nafas, semoga ini berhasil. Aku akan melakukan apapun demi isteriku. Lalu aku menaikkan papanku. Papan yang bertuliskan.

‘DIJUAL :
ORGAN TUBUH (RP 34JUTA u/ satu organ)

Hari yang mulai gelap, perut yang lapar tak membuatku berhenti berdiri meski sesekali aku menurunkan papanku, pegal rasanya tangan ini tak terasa sama sekali, sepertinya saraf-sarafku mati, hanya hatiku yang terus hidup, dan membuatku terus bertahan, mungkin sedikit lagi.., yaaa sedikit lagi. Sambil sesekali menyeka airmata yang keluar dari mata ini, aku terus mengangkat tinggi-tinggi papan ini. Mobil-mobil hanya lalu-lalang tak menggubrisku. Sampai akhirnya, aku tak tahan dengan perutku yang terus menerus berbunyi dan aku memutuskan untuk ke warung terdekat dan membeli sebuah roti. Aku duduk di warung, dan papan ku letakkan di depanku. Aku menghabiskan roti itu dengan cepat, dan membeli sebuah aqua gelas. Aku terlalu lemah Ayu, aku lemah! Baru berdiri sebentar saja aku sudah pergi ke warung untuk makan. Aku ini suami macam apa! Aku harus kembali kesana, aku akan dapatkan uang itu AYu, aku janji! Aku membayar roti yang haraganya Rp 2000 itu dan aqua gelas Rp 500 itu dengan sisa uang receh yang ada di kantongku. Aku berdiri dan bermaksud beranjak sampai tiba-tiba ada seseorang turun dari mobil dan mencegahku. Dia sepertinya tertarik pada sesuatu yang ada padaku, tapi memangnya aku punya apa? Tunggu, dia melihat kea rah papanku bukan padaku.


Tari
Aku sudah pergi ke kantor  bekas tempat kerjaku, tapi hasilnya nol besar. Aku pergi ke rumah Vivi tapi sayangnya dia sedang tidak ada di rumah, hapenya pun tak bisa dihubungi. Aku menyesal kenapa aku selalu menolak untuk bersosialisasi.
Aku mengayuh sepedaku lagi, berusaha datang dari rumah ke rumah yang aku kenal dari mulai kerabat dekat sampai kerabat jauh. Demi Ibuku, aku rela! Tapi hasilnya tetap nol. Aku berdoa semoga Ayah sudah mendapatkan jalan keluarnya. Malam sudah larut sekali dan akumemutuskan untuk kembali ke rumah sakit.
“Tari!” aku mendengar suara Ayah memanggilku, rautnya tampak senang. Semoga ini berita baik. J
“Kamu darimana saja nak?”
“Aku keliling nyari pinjaman ayah, Mmm.. Tapi..Ng.. aku… “ aku tak sanggup menyelesaikan kata-kataku dan memeluk Ayah.
“Aku minta maaf Ayah, aku ga bawa apa-apa. .. Hik..Hiks..” tangisku meluap, Ayah balas memelukku dan membelai rambutku.
“Gapapa Tariii. Ayah tadi bertemu dengan teman Ayah dan mendapatkan pinjaman uang. Besok Ibumu akan segera dioperasi”  Aku melepaskan pelukkanku dan wajahku berubah menjadi berbinar.
“Beneran Yah?”
“Iya, Ri. Uang yang 7 juta kemarin, kamu gunain buat bayar  kuliah kamu aja yaa. Sekarang kamu lebih baik pulang, bapak mau menginap disini, lagipula besok kamu harus kuliah.”
Kafka
“Mama serius orang itu ga akan kabur?”
“Gak Ka, dia ga akan bisa kabur.”
Aku diam setengah ragu mendengar jawaban mama itu, tapi mama sudah  meninggalkan kamarku. Aku sendirian. Aku mengambil secarik kertas yang kudapatkan di pantai tadi. Aku membacanya lagi. Aku teringat teman kecilku. Teman sepuluh hariku, haha. Sepuluh hari. Singkat, tapi terasa sangat lama untuk aku dan Tari membuat sebuah cerita. Apa ia masih tak punya teman seperti dulu? Apa ia masih pekerja keras seperti dulu? Dia mungkin sudah menjadi lebih manis dibandingkan ketika ia kecil yang cengeng, dan manja.
“Kaa?”
“Hey, kamu Fik. Kenapa? Kangen yaaa? Hehe”
“Ishh apaan sii. Aku Cuma ingetin kamu buat tidur, soalnya besok kan kamu harus  operasi.”
“Okee. Makasih yaa diingetin J
Kutatap wajah Rafika dan tersenyum, ia membalas senyumku kemudian menutup pintu kamarku dan meninggalkanku untuk tidur.

Tari
Pagi ini aku tidak terlambat ke kampus, tapi sepanjang mata kuliah aku hanya memikirkan satu hal, gimana keadaan Ibu? Ga! Aku harus ke Rumah Sakit.
 Sesampai ku di rumah sakit, aku menuju ruang operasi Ibu, tapi ayah tidak ada disitu. Kemana ayah? Aku gelisah, keringatku membasahi sekujur tubuhku. Aku merasa hal yang penting telah aku lewatkan atau justru tak aku perhatikan. Tapi apaaa? Dan dimana ayah? Ibu… semoga operasi ini berjalan lancar dan Ibu bisa sembuh. Aku putuskan untuk menunggu Ibu operasi di depan pintu  ruang operasi. Duduk sendirian di bangku.  Perlahan kantuk mulai menyerang.
When I see your smile
Tears run down my face.. I can’t replace
And now that I’m strong  I have figure out
How this world turn cold and it break to my soul and I know
I’ll find deep inside me
I can’t be the one
I wll never let you fall
I stand up with you forever
I’ll be there for you through it all
Even  if  saving you sends me to heaven
Aku terbangun dari tidurku ketika seorang dokter membangunkanku.
“Pasien bernama Ibu Ayu telah melawati masa kritis, tapi ia masih harus istirahat. Kira-kira dalam waktu 3 hari dia sudah bisa dibawa pulang ke rumah”
“Terima kasih Dok. Saya boleh melihat keadaan Ibu saya?”
“Silahkan, tapi jangan sampai mengganggu pasien”
“Iya, Dok”
Aku langsung beranjak  ke dalam ruang dimana Ibuku terbaring tak berdaya. Aku menggenggam tangannya dan menciumnya.
“aku sayang Ibu” kuciumi tangannya lagi
“Ibu pasti sembuh, sebentar lagi kita bisa pulang dan bersama lagi di rumah”
Aku akhiri kegiatanku mencium tangan Ibu dan pergi ke kamar mandi untuk mencuci mukaku yang lusuh ini. Aku melewati ruang operasi yang lain dan  seseorang sedang dikeluarkan dari ruang itu oleh para dokter, langkahku terhalang oleh mereka. Aku penasaran orang ini habis operasi apa sih? Aku bermaksud ingin bertanya pada dokter, tapi sepertinya mereka tidak akan menggubrisku. Aku membiarkan mereka lewat sambil memperhatikan mereka, termasuk pasien itu.  Tapi.. sepertinyaa… AYAH!
Aku menutupi wajahku dengan tangan dan  tak bisa bergerak, sementara dokter terus membawa ayahku entah kemana. Aku berusaha menguatkan diriku dan mengejar dokter-dokter itu.
“Ayahhhh! “ aku berlari, menangis, setengah teriak
“Ayaaaahhh!”
Akhirnya aku berhasil menggapai Ayah. Aku jatuh berlutut dan memegangi tangan ayah.
“Dok, ayah saya kenapa?”
“ayah anda habis operasi ginjal. Dia menyumbangkan ginjalnya untuk seseorang”
“apaa? “ aku tak tau apa yang harus aku katakana. Ibu.. Ayah.. semuaa… Hik..Hik
“maaf Dik. Ayah anda harus istirahat sampai ia pulih, dan kami bermaksud memindahkannya ke ruangan lain”
Aku berdiri dan membiarkan dokter-dokter itu membawa ayahku. Aku remuk.
Kafka
”Aku akan datang kembali, kita akan bertemu lagi, Ri” tapi Riri diam dan semakin lama semakin jauh, jauh dan jauhh. Tiba-tiba muncul cahaya terang, begitu terang sampai aku menutupi mataku dengan tangan, tapi cahaya itu begitu terang. Précis seperti cahaya waktu aku mulai sdar dari pingsan di Anyer. Tiba-tiba aku merasa hangat, lalu aku kembali ke dunia nyata.
“Sayang, kamu gapapa kan nak?”
Aku hanya menggelenggkan kepala. Aku menatap sekeliling, masih ruang yang sama seperti tadi, masih di tempat yang sama, Rumah Sakit. Kepalaku masih pusing. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu.
“siapa?”
Orang asing itu membuka pintu. Sosoknya menghadirkan Tanya, kenapa aku merasa seperti sangat lega melihatnya? Seperti sebuah janji yang terlunasi. Siap dia? Sayang aku nterlalu lemas untuk berbicara dan menegaskan sosoknya.
“saya Tari, Bu. Anak dari orang yang mentransplantasi organ kepada anak Ibu.”
Mama langsung berdiri dan  menghampirinya.
“Oh, ada apa? Bagaimana keadaan Ayah kamu?”
“Sedang dibawa dokter ke ruangan lain Bu. Saya mengucapkan terima kasih karena sudah membantu membiayai operasi Ibu saya, saya tidak tahu kalau ayah saya melakukan cara ini untuk membayar biaya operasi Ibu saya. Sayaaa…Hik… permisi”
Aneh, benar-benar aneh, dia bilang terima kasih tapi matanya seolah berkata ‘kenapa kalian ambil ginjal ayahku?’, aku jadi merasa bersalah. Sepertinya wajahnya tak asing. Ah, mungkin mataku ini saja yang salah menerka, terlebih aku baru selesai operasi.
Tari
 “Tari?”
“Ayah?” Tari langsung menghampiri Ayahnya yang terbaring lemas dan menangis di depannya
“Ayah kenapa begini sii? Mendingan Tari ajaa yang gantiin Ayah”
“Ssst. Kamu ngomong apa si, RI? Ayah sayang kamu, sayang Ibumu. Apapun akan ayah lakukan. Yang penting kamu bisa mengejar cita dan Ibumu bisa sehat ayah sudah senang.”  Tari hanya terdiam
“Bagaimana dengan Ibumu?”
“Ibu sudah melewati masa operasi, tapi dia belum sadar. Dsa dokter bilang dalam waktu tiga hari, Ibu sudah dibawa pulang “
“Yasudah, lebih baik kamu kunjungi Ibumu, Ri. Ayah tak apa-apa”
Aku mengangguk dan segera menuju ruangan Ibu. Aku membuka pintu dengan perlahan agar tidak mengangetkan Ibu. Aku lega mendapati Ibu sudah sadar meskipunn ia masih terbaring lemas di tempat tidur.
“Tari” ia tersenyum lewat bibirnya yang tipis.
“Iya, Bu” aku mendekati Ibu dan duduk di kursi yang ada disamping tempat tidurnya.
“Maafkan ibu sudah menyusahkanmu dan ayahmu” ia berkata pelan, sambil menahan isak.
“Aku tidak pernah merasa disusahkan oleh Ibu”
“Ibuu..” belum sempat Ibu menerusakan perkataaannya, Aku menutup mulutnya dan memeluknya.
“Aku sayang Ibu” tangis kami pun meledak.

Seminggu kemudian di kampus……
“Hey Tar!”
“Hey, Vi. Muka lu kayaknya cerah banget. Ada apa nih?”
“Kita liburan semester ke pantai Tar! Lu suka pantai kan? Lu harus ikut pokoknya!”
“Yah, ga deh Vi. Gua ga ada uang. Baru aja uangnya ludes buat bayar tagihan persemester gua.”
“Payehh luu. Mmmmm.. Eh gini aja, lu gua bayarin, tapi lu harus ikut ya Tar? Ya ya yaya? Ayolah Tarrrr?”
Melihat Vivi merangkulku dan memohon seperti anak kecil, aku jadi tak enak hati. Sebenarnya aku ingin sekali ikut, tapi bagaimana Ibu?
“tapi Ibu gua baru keluar dari Rumah Sakit, gua takut dia ntar kenapa-kenapa pas gua dan ayah ga ada.”
“Yahh, Tar. Kan perginya pas liburan semester, Ibu lu pasti udah membaik “
“Mmmm, Nanti gua Tanya Ayah gua deh, sekiranya dia ngebolehin gua, gua bakal ikut. Oke?”
“Bener yaa? Oke deh gua bayarin lu dulu ke  Toing”
“loh kan gua belum pasti, Vi?”
“Iya gapapa biar gua ga ribet kalo nantinya lu jdai ikut, kali lu gajadi yaa tinggal mihnta balikin”
“Makasih yaa, Vii”
“Elaah, ama temen aja masih kaku aja lu ah!”

Kafka
Seminggu kemudian….
Pagi ini aku merasa lebih baik, aku keluar rumah dan lari pagi. Udaranya mungkin dingin, tapi pemandangan pagi seolah seperti Bumi yang baru jadi, penuh dengan gerakan-gerakan embun yang hendak menetes dari daun-daun yang sudah tak mampu menahannya. Aku berhenti sebentar  ketika melihat seseorang yang sepertinya ku kenal. Pak Faisal. Dia membawa termos yang sepertinya berisi air panas dan mengeluarkan serentetan kopi sachet  dari tasnya.
“Pak Faisal?”
“Eh nak Kafka? Bagaimana kabarnya?”
“Membaik Pak, Bapak sendiri? Bapak dagang kopi?”
“Bapak sehat nak, Alhamdulillah. Iya nak, abis Bapak juga bingung mau kerja sudah tua  ga ada yang meu terima, jadi yaa Bapak jualan Kopi aja. “
Aku hanya diam dan memandang jajaran kopi yang Pak Faisal jual.
“Dulu Bapak kerja jadi sopir taxi, tapi  waktu itu Bapak dipecat karena setorannya kurang. Yah, namany juga penumpang kadang banyak kadang dikit”
“Oh iya? Mmm Pak aku mau satu yaa kopinya, yang ini.”
“Oh iya nak sebentar yaa”
“Bapak bisa ngendarain mobil dong?”
“Bisa nak, ada apa memangnya? Ga mungkin dong nak Kafka ga bisa? Hahahaha”
“Ah Bapak, masa iya ga bisa kalo saya tiap hari bawa mobil, haha. Ng.. gimana kalo Bapak jadi sopir saya ajaa?”
“Hah? Sopir  nak Kafka?”
“Iya, saya beri gaji 3,5 juta perbulan? Yahh, itu juga kalo Bapak mau”
“3,5 Pak? Wah, ga terlalu besar tuh Pak buat orang kecil seperti saya? “
“Gak kok Pak. Okee, besok saya akan kembali kesini untuk konfirmasi dari bapak”
Tari
Yaah, oke lagi-lagi aku harus mengayuh sepeda yang kata orang si butut, tapi ini sepeda kesayanganku. Aku menuju suatu rental komputer yang murah. Agak jauh si emang dari rumah, yang penting murah dan tugasku selesai dengan baik. Di rental itu aku biasa begadang, bolak-balik untuk ngerjain tugas, mulai dari tugas SMP, ampe tugas kuliah. Yah, namanya juga cita-cita! jadi aku harus berjuang lebih keras dari mereka yang memiliki fasilitas, yaa gapapalah, hasilnya juga belum tentu mereka yang lebih begus kok. Aku pasti bisa!
Aku sibuk menyelesaikan tugas skripsi.  Dari dulu ampe sekarang aku ga pernah merubah mimpiku. Aku pengen ngerancang sebuah gedung. Aku jadi senyum sendiri membayangkan gedung indahku kelak akan ada di Ibukota, kota yang menjadi saksiku merintis cita-cita.
“Neng, rentalnya udah mau tutup, udah jam 10  neng”
“Yah Bang… ini skripsi saya tanggung banget, Bang,”
“Ya tapi udah waktunya ditutup, Neng”
Aku hanya menghembuskan nafas yang terasa berat setelah mendengar kata terakhir dari Babang rental itu. Aku merogoh saku celanaku dan. O o! aku lupa bawa flashdisk, Oh My God, gimana nih?
“Ngapa neng? Lupa bawa duit? Udah besok aja balik lagi , Neng udah langganan sini juga kan”
“Bukan Bang, masalahnya saya lupa bawa Flashdisk”
“Yaah Neng Abang ga ngerti lagi ma yang begituan, yang punya nih rental baru sembuh dari sakit, dan dia kesini kalo pagi doing.  Kalo ada dia mah, pasti punya, Neng”
Aku tidak menjawab lagi, aku bingung dan akhirnya aku ga punya pilihan lain selain  ngesave skripsi yang udah aku kerjain di komputer itu, berharap semoga tak terjadi apa-apa besok padanya. Bismillah.
Aku mengayuh sepedaku lagi untuk pulang ke rumah, tak peduli kakiku bosan mengayuh, atau lelah mengayuh, kalau tidak kukayuh bagaimana aku sampai? Begitu juga cita-citaku,  sama dengan mengayuh sepedaku ini.
Sesampai di rumah, aku langsung masuk kamar, shalat Isya dan berdoa semoga besok akan ada sebuah keajaiban yang memudahkanku. Yaaaa, benar. Keajaiban.
Tok Tok Tok
“Tarii? Kamu sudah tidur nak?”
“Belum Ibu.. masuk ajaa. Ga dikunci kok” aku merapikan mukenaku.
Ibu masuk dan duduk di tempat tidurku
“Besok Ayah akan bekerja menjadi sopir”
“Ayah dapat kerja lagi, Bu? Bagus dong? Tari ikut senang J
“Dia bekerja menjadi sopir orang yang membeli ginjalnya, Ri. Gapapa kan?”
Jujur, aku agak sesak mendengarnya, tapi yaa apa boleh buat, selagi halal aku tidak boleh melarang Ayah.
“Gapapa, Bu Tari setuju. Eh iya, Bu Tari liburan semester mau ke pantai Anyer, si Vivi maksa gitu deh biar Tari ikut, ampe ada acara ngebayarin Tari Bu, Tari jadi ga enak, Tari ikut yaa Bu, boleh yaaa? “
Ibu mengangguk, aku senangh sekali J


Kafka
 “Pagi Pak Faisal?”
“Oh, pagi nak Kafka”
“Pak, bagaimana tawaran saya yang kemarin?”
“Oh yang menjadi sopir Bapak yaaa? Saya sudah meminta izin apada isteri dan anak saya dan mereka membolehkan saya.”
“Jadi, Bapak bersedia nih?”
“Iya pak.”
“Okee, besok jam 9 pagi saya harus pergi ke Rumah sakit  untuk bekerja, jadi Bapak harus ada dirumah saya sebelum jam 9. Bapak boleh kembali ke rumah saya setelah mengantar saya, dan saya akan minta Bapak untuk menjemput saya sekitar jam 8 malam. Saya tidak suka terlambat Pak. Dan ini kartu nama saya, ada alamat dan nomer telepon saya. Mmm saya boleh minta nomer telepon Bapak? Biar  kalo ada perubahan gampang ngabarinnya”
“Oh, gimana yaa nak Kafka. Saya ga punya HP”
“Kalau begitu saya susah nanti. Ng… gini aja, besok saya akan berikan Bapak sebuah HP, tapi besok Bapak harus datang sebelum jam 9, Oke?”
“Oke Nak. Mau kopinya nak?”
“Oh, gausah Pak saya harus ke sebuah tempat lagi. Sampai ketemu besok Pak”
Aku berjalan menyusuri jalanan yang perlahan semakin penuh hiruk pikuk manusia, aku berhenti di sebuah tempat sederhana, tempat bisnis kecil-kecilan,untungnya pun kecil, tapi yang kucari dari bisnis ini bukan keuntungan tapi memberikan kemudahan kepada orang-orang yang ga punya komputer di rumah untuk mengerjakan tugas dengan haraga yang sangat murah.  Aku masuk dan mengecek semua barang yang ada didalamnya, sampai tiba-tiba ada seorang perempuan yang datang. Dia berambut tebal, hitam dan lurus, dikuncir satu, menggunakan kaos oblong yang gombrong dan celana jeans, poninya disepit kebelakang. First sight, dia manis. Eit, apa iya ini first sight? Kayak pernah liat deh? Dia langsung menduduki sebuah kursi di depan computer yang sudah selesai aku cek, dan terlihat lemas ketika melihat desktop. Aku mendekatinya, dia tampak memucat, kecewa dan entahlah sebenarnya reaksi apa itu yang jelas bukan reaksi baik.
“Ada yang bisa saya bantu, Mbak?”
Dia masih diam.
“Mbak?”
“Ah? Oh ng… saya mencari sebuah data penting untuk saya bawa,  kemarin karena saya tidak membawa flashdisk saya menyimpannya di desktop komputer ini, tapi sekarang.. . huah, entahlah”
Dengan lesu dia keluar, seolah harapan dia musnah seketika setelah mengetahui data itu tidak ada.
“Sebentar Mbak!”
Dia menengok ke arahku, dan meuungguku beberapa saat setelah aku membawakan sebuah flashdisk.
“Tadi saya mengecek semua komputer, semua data yang ada di desktop dan segala macam saya simpan disini.”
Dia tersenyum memlihat flashdiskku dan langsung mengambilnya dari tanganku, kemudian pergi. Aneh, tapi.. Senyumnya manis. J 
“Oke, terimakasih yaaa”
Dia langsung pergi meninggalkanku yang masih kagum dengan senyuman ituu, senyuman yang mengingatkanku pada 10 tahun yang lalu. Di pantai Anyer. Sebotol impian.

Tari
“Nyaris aja telat, fiuh”
“Lu kemana dulu sii emangnya Tar?”
“Gua ke rental dan nyari tugas skripsi gua, kemaren gua lupa bawa flashdisk jadi gua save aja di desktop ehh td ada trouble dikit gitu dehh, berdoa ajaa semoga skripsi gua ada disini”
 “Lah itu flashdisk siapa Tar?”
“Flashdisknya Babang ren… Astaga! Gua lupa ini punya dia Vi. Gua saking senengnya pas dia bilang data gua ada disini, gua langsung ambil FD ini trus kabur kesini. Aduuuhhh, ntar gua kesana deh balikin  FD dia ini. Eh gua pinjem Leptop lu yaa bentar, bawa kan?”
“Bawa kok, tuh di tas, ambil aja”
Aku menghentikan kepanikanku dan mencoba mengecek data yang ada di flashdisk itu. Ada banyak sekali data, sampai akhirnya aku menemukan dataku, fiuh untung ada. Aku lega.
“Eh Ri, lu jadi ikut ke Anyer kan?”
“Jadi kok, gua udah bilang ma Ibu gua.”
“Trus boleh? Bokap lu ngebolehin juga ga?”
“Kalo nyokap setuju, bokap juga setuju pasti, semalem bokap gua lg tidur soalnya. Eh emang berangkatnya kapan dah?”
“Minggu depan Tar, setelah kita selesai ujian semester”
Aku hanya mengangguk dan meneruskan skripsiku dengan menggunakan leptop Vivi, sementara orangnya lagi asyik ngobrol sama pacar barunya, siapa lagi kalo bukan mahasiswa baru itu, Restu.
Setelah jam kuliah selesai aku mengembalikan FD babang rental itu, aku mengayuh lagi sepedaku ke rental itu. Tapi ketika ku masuk tak ada orang yang berkulit putih, tinggi dan berwajah tampan itu, aku hanya menemukan  Babang yang biasa menjaga rental, lalu aku menitipkannya kepada dia.
TUK
FD itu jatuh, gantungan liontinnya terbuka, tetapi isinya bukan foto tapi tulisan, sebuah nama. Kafka. Aku sempat bengong setelah membaca nama itu, mengingatkanku pada seseorang, tapi Kafka teman kecilku tidak berada di Indonesia, dia mungkin masih di Amerika untuk menyelesaikan kuliahnya.  Dua tahun lagi Ka. Kita pasti bertemu!

Faisal
“Bu.., Ayah berangkat dulu ya Bu.”
“Loh mau kemana yah?”
“Bapak kan sudah diterima bekerja menjadi sopir di rumah orang yang Bapak beri ginjal itu loh Bu.”
“Oh iyaa, Ibu lupa . Mmmm tapi Yah, memangnya  ayah bisa bawa mobilnya? Pasti mobilnya mahal loh Yah.”
“tenang Bu, dulu sebelum bawa truk container Bapak pernah les mobil, berhubung waktu muda Bapak punya teman yang membuka les menyetir”
“Ooh, syukur deh Pak. Kalo gitu berangkat sana, nanti terlambat”
“Assalamualaikum”
“waalaikumussalam”
Aku mengendarai motor bututku menuju alamat yang diberikan nak Kafka kemarin,  terbayang lagi impianku yang sejak dulu belum terkabul, pergi haji. Aku membayangkan jika aku terus menabung, lebih-lebih sekarang gajinya lebih besar daripada penghasilan berjualan kopi keliling. Aku sangat mendambakan rumah-Mu, pergi menuju rumah-Mu, bersama isteriku tercinta tentunya.
“selamat pagi Pak satpam, saya Pak Faisal yang sudah diterima menjadi sopir dari nak Kafka”
Satapam itu tak kunjung membukakan pintu untukku, melainkan memandangku dengan pandangan menyelidik, dari atas ke bawah
“kamu bener Pak Faisal?”
“iya Pak, memang ada apa dengan saya sehingga Bapak seolah mencurigai saya?”
“Jaman sekarang banyak penipuan Pak, kalo ni rumah ampe kecolongan saya yang kena. Mmmm begini saja, biar saya periksa KTP Bapak. Mana KTP nya?”
 Aku merogoh sakuku dan mengambil KTP, SIM, STNK,  dan semuanya kuberikan kepada Pak satpam itu, setelah membaca dan berkali-kali menyamakan foto dengan wajahku, dia membukakan aku pintu. Bersamaan dengan aku meletakkan motorku di tempat yang aku perkirakan boleh untuk tempat singgah sementara motor bututku ini, nak Kafka keluar dari pintu rumah.
“Pak Faisal tepat waktu. Saya baru saja selesai bersiap-siap”
Dia berjalan mendekatiku dan memberiku kunci mobil
“Ini kuncinya, dan mobilnya yang berwarna Biru itu”
Mobilnya bagus sekali, berwarna biru dengan hiasan-hiasan  klasik berwarna hitam yang entah disebutnya apa, merk nya Honda Jazz, disebelahnya ada mobil yang terlihat mewah, alpart., lalu disebelahnyaaaa…
“pak! Kalo parkir liat-liat dong! Ini kan  kebun, aduuuh bisa diomelin Nyonya ini saya”
Kata Pak Satpam yang tadi menginterogasiku.
“Pak Faisal!”
Aku menengok ke arah suara itu berasal, nak  Kafka terlihat mengernyitkan kening dari jauh, mungkin karena saya lama mengambil mobilnya.
“Maaf Pak Satpam, tapi saya harus segera mengantar nak Kafka, bagaimana jika Bapak yang memindahkan motor saya? Ini kuncinya”
Belum mendengar jawaban dari Pak Satpam, aku bergegas masuk ke dalam mobil, menyalakannya, dan mengendarainya menuju depan pintu rumah. Kemudian aku keluar mobil dan membukakan pintu untuk nak Kafka. Kami menuju sebuah Rumah Sakit yang agak jauh dari Rumah nak Kafka di Ps. Minggu. Bicara tentang rumahnya nak Kafkaaaaa, rumahnya sangat bagus. Ada ukiran ukiran di pilar-pilarnyn, rumahnya bertingkat sampai lantai dua, dinding luarnya bercat warna putih dan tidak terlihat ada noda pun seperti rumah keluargaku, yang dinding putihnya sudah tidak bisa dibilang putih lagi, kuning mungkin, haha ada-ada saj aku membandingkan rumah nak Kafka dengan rumahku. Tapi, aku berharap kelak keluarga kecilku akan mempunyai rumah yg seindah itu. Harapanku hanya satu, Tari.
Tari
“Ri, Vivi  belum dateng kok tumben yaa?”
“Masa sih? Gua kira dia  lagi di kamar mandi atau di kantin gitu”
“Iya sih, mungkin jugaaa”
“Eh, tapi ini kan udah mau mulai kuliahnya dan kita lagi ujian semester tumben-tumbenan dia telat”
“Daritadi gua telpon juga ga diangkat”
“Hey  sayang, hey Tar.  Ngomongin gua yaaa?”  tau-tau si Vivi sudah ada diantara kami.
“Lu tuh kemana aja sih baru dateng gini hari, Vi? “
“Gua abis….uwek”
Vivi langsung  pergi entah kemana, dan aku langsung bergegas mengejarnya. Dia berlari sangat kencang dan menubruk beberapa orang tanpa meminta maaf dan melanjutkan larinya, entah tempat apa yang ditujunya, aku terus mengejarnya, sampai akhirnya ia masuk ke dalam kamar mandi wanita.
“Vi lu kenapa?”
“Gua gatau nih Tar, semalem gua juga mual gini, mungkin karena gua makan udang kali yaa semalem, lu tau kan gua alergi udang? gua kira udah mendingan ehh ternyata belum”
“Aduh gimana ya Vi, kalo pulang pun sekarang kita kan lagi ujian semester”
“Gapapa kok Tar, gua Cuma mual”
“Oh yaudah nanti biar si Restu nganterin lu pulang yaa”
“Haruslah”
“Yaudah yuuk kita masuk kelas lagi, keburu Pak Sus dateng ntar bisa abis kita”
“Yailah slow ajaa, lu kan mahasiswi kesayangan Pak Sus”
“Eh ngomong apa lu barusan”
“Nggak, nggak ngomong apa-apa”
Vivi berlari meninggalkan aku yang masih kesal dengan kata “murid kesayangan”, aku bergegas mengejar Vivi menuju kelas.
BRUUUUKK!
Aku menabrak Vivi yang ngerem mendadak tepat di depan kelas, aku gak tau apa yang menyebabkan dia melakukan itu, tapi kemungkinan paling besar penyebabnya adalah Pak Suswanto. Vivi membalikkan tubuhnya ke arahku dan aku bisa lihat raut pucat di wajahnya.
“Ssssstt… Gawaaaaaat”
“Kenapa? Ada Pak Sus?”
“Bukaann -_-“
“Terus?”
“Sepatu gua kena permen karetttt. Huaaaaaa ”
“Astaga gua kira kenapaaaa-_-. Lebay lu ah! Udah mendingan sedihnya ntar-ntaran ajaaa, ntar keburu Pak Sus beneran dateng kita diomelin “
Aku menarik Vivi untuk masuk ke ruang kelas, belum ada Pak SUs sih, yang lain sibuk dengan urusannya masing-masing.
Sepulang kuliah aku  langsung pulang ke rumah, masih menggunakan sepeda bututku, melewati jalan yang sama setiap harinya, huaaah kapan hidup ini akan berubah untukku?. Sesampainya  di rumah aku bergegas mandi,aku mandi ga kayak cewek pada umumnya yang makan waktu banget, 10 menit cukup banget buat mandi. Setelah mandi aku duduk di kursi belajar yang pastinya pengen  belajar, tapi  telponku bergetar . Vivi. Aku langsung mengangkatnya.
“Tarrrrrrrriiiiiiiiiiiiiiiiii!!!”
Tut tut tut tut tut
Belum sempat aku berkata sesuatu tapi telpon sudah tertutup, aku merasa ada yang tidak beres hingga kuurungkan niatku untuk belajar dan pergi ke rumah Vivi.
Rumah Vivi ada di Jalan Kenanga, yang pastinya perumahan. Dia meiliki rumah paling besar disana, rumahku  dan rumahnya memang agak sedikit jauh sehingga untuk jalan kesana aku harus mengayuh sepeda seperapat jam, tapi kali ini aku mengayuh dengan lebih cepat dan lebih cepat lagi tak peduli betapa kakiku berteriak meminta istirahat.
Ketika aku sampai, masih dengan nafas yang berburu, aku berhenti sejenak di depan gerbang rumahnya. Sepi. Itu kesan pertamaku, hanya ada beberapa lampu didalam rumah yang menyala, apa iya tidak ada orang? Lalu kemana pembantu Vivi? . Aku bermaksud menekan bel, tapi kuurungkan setelah menemukan gerbangnyanya tidak terkunci, mungkin si Mbok lupa menguncinya, dasar ceroboh. Rumah Vivi memang sepi, orangtua Vivi sedang Dinas ke luarkota dan Vivi hanya tinggal berdua dengan para pembantunya di rumah sebesar ini.
“woooyy! Siapa lu? Maling lu yaaa?”
Ternyata ada yang melihatku memasuki rumah Vivi, dan entah mengapa dengan reflek aku justru lari dan masuk ke dalam rumah Vivi, untung pintunya ga dikunci, itu sedikit menolong, tapi aku ga mungkin terus larim kan? Aku ga salah kok, tapiii yang penting Vivi dulu deh. Dimana ya dia?
 “Vii?... Viiiii?”
Tidak ada jawaban, aku masuk ke seluruh  bagian lantai satu, tapi nihil.
KRETEK
Aku mendengar suara anehh, sepertinya berasal dari dapur. Oh iyaa aku kan belujm memeriksanya. Percis seperti  di film horror , aku bergidik, lebih-lebih dapur itu gelap. Aku melangkah dan…
“Bibi?”
Aku menemukan Bibi yang terikat tali, mulut tersumpal dan tidak bisa bergerak. Aku dengan cepat membuka tali Bibi.
“Non Vivi, Neng, dilantai atas, cepetan Neng!”
Aku tidak menyelesaikan membuka  ikatan  tali Bibi, dan langsung bergegas ke lantai atas, aku menaiki tangga dan langsung menuju ke kamar nya.
“Vivi!”
Aku menemukannya! Dia dilantai, apa ia pingsan? Aku mendekatinya perlahan-lahan tapi entah mengapa perasaankuuu….
“Blood? Oh, God!”
Aku mempercepat langkahku mejuju tubuh Vivi, mungkin lebih tepatnya  mayat Vivi. Aku berlutut, menangis di depan mayatnya. Ada pisau disana. Aku mngembil pisau itu, mungkin pisau ini lah yang menjadi saksi pembunuhan Vivi.
“Dasar pembunuh! Lu harus gua bawa ke kantor polisi untuk  diperiksa agar diberikan hukuman yang tegas”
Tiba-tiba kamar ini sudah penuh dengan orang-orang, salah satu dari mereka adalah yang menyangkaku maling tadi. Aku ga bisa berkata apa-apa terlebih aku memegang pisau. Bodoh! Ngapain aku pegang nih pisau. Keringat dingin mengucur membasahi sekujur tubuhku, aku tak tahu harus bagaimana?. Aku tak bisa berkata-kata melihat banyak orang semakin memojokkanku dan menuduhku, aku menangis dan memandangi mayat temanku, tidak! Sahabatku! Satu-satunya! Air mataku mungkin mengenai pipinya yang sekarang dingin.
“Gua ga nyangka lu Ri, kenapa ama Vivi Ri?”
“Restu? Gak, Tu ini ga seperti yang lu..”
POK!
PLAK!
Darah menetes dari bibirku. Perih. Sakit. Ya Allah! T.T .Rasanya gigiku rontok, darah terasa sangat pahit. Aku berusaha bangkit.
“Bukan sayaaa. Bukan sayaaa.. Hikk… Restu! bukan gua Tu bukan gua lu harus percaya! Vivi nelpon gua dan dia Cuma teriak nama gua, gua berusaha secepat mungkin kesini tapi semua udah… Hik”
“Alah! Bullshit! Terus apa yang lu pegang tadi itu? Pisau bohongan?”
Aku mengangkat kepala bermaksud menjawab, tapi aku tidak menemukan apapun yang tepat untuk menjadi jawaban, aku juga tak tahu kenapa aku memegang pisau ini, suatu tindakan bodoh.  Aku menunduk lagi dan hanya bisa menangis untuk menjawab segala tudingan.sesekali aku mengangkat kepala dan memperhatikan semua orang. Mbok! Mbok bisa menyelamatkanku.
“Mbok!”
Aku sangat senang melihat Mbok dan berusaha meraihnya, tapi dia menyingkir seperti orang takut. Mungkin.
“Mbboookkk! Jelasin ke mereka Mbok, aku ga salah kan Mbok? Aku nolongin Mbok kan tadi?”
Mbok menggeleng dengan tegas. Aku melepaskan  tanganku yang meraih lengannya. Aku lemas. Semua mulai memakiku lagi. Aku tak yakin ada kehidupan yang bisa aku nikmati setelah ini. Semua hitam. Aku pandangi lagi mayat Vivi. Kenapa lu ga bangun aja sih Vi dan jelasin ini semua? Hikks. Ayahhh, Ibuuuu, akuuuuu…. Hikk.. Hiks…
Kafka
“Sekarang Bapak boleh pulang”
“Terimakasih Nak.”
“Oh iya, Pak. Ini HP yang saya janjikan kepada Bapak tempo hari lalu,”
“Terimakasih nak, Mmm .. untuk pembayaran HP ini biar gaji saya saja yang dipotong nak Kafka”
“Tidak Pak, ini saya berikan secara cuma-cuma  kepada Bapak “
“Baiklah pak, saya sangat berterimakasih.  saya sebaiknya pulang, sudah malam”
“ Oh oke Pak, besok dijam yang sama yaaa”
“Baik nak Kafka”
Sementara Pak Faisal memarkirkan mobil, aku pergi ke dalam rumah dan bergegas istirahat, tapi belum sampai kamar, di ruang tamu  aku melihat banyak sekali orang, mereka seperti sedang membicarakan sesuatu.
“Nah ini dia orangnya. Kafkaa, sini nak”
Aku menghampiri mereka dan aku baru menyadari ada Fika disana, ada orangtuanya juga.
“Wah, ada acara apa nih? Kok ga bilang-bilang Kafka dulu sih biar Kafka pulang duluan tadi?”
“Kita sedang membicarakn pernikahan kalian.”
“Pernikahan Ma? Siapa yang pingin nikah Ma? Mama emang pingin nikah lagi? Lah Papa mau dikemanain? Hehe”
“ Huss kamu kalo ngomong yaaa. Kita ini sedang membicarakan pernikahan kalian, “
“Kalian?”
“Iyaa, kamu dan Fika”
“Ah Mama, aku masih harus menyiapkan uang dan lain-lain Maa.”
“Kamu kedengerannya ga seneng ya Ka nikah sama aku?”
“Hah? Kamu ngomong apa sih? Itu tujuan akhir dari hubungan kita kan? Ya jelaslah aku seneng, Cuma kan pernikahan kita harus special, semua harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya”
“Rumah Sakit kamu kan sudah maju Ka, mau tunggu apalagi? Calon ada, uang pasti adalah. Haha. Ayo Jeng diminum minumannya, fika ayo minum nak, si Kafka emnag gitu, dia ga pernah sembarangan apa lagi menyangkut hal specialnya, haha”
Aku melihat Fika yang tersenyum kepadaku dan aku membalas senyumnya. Tunggu apalagi kata Mama? Aku menunggu Tari Ma, aku ingin melihatnya, berbagi cerita dan meminta pendapatnya. Tapi setiap kali aku bercerita tentang Tari, mama selalu memarahiku, berkata itu hanya teman kecil kamu, dia juga paling udah lupa dengan janji 12 tahun itu. Mungkin Mama benar. Lagi pula, aku memang menyayangi Fika. Kenapa aku harus sedih? Toh, kalau aku sudah menikah, justru itu akan menjadi cerita indah lain yang bisa ku bagi dengan  Tari. aku memandangi Fika lagi, ia memang tidak melihat ke arahku, tapi jantungku berdebar, sangat kencang, aku tersenyum sendiri membayankan pernikahan kami. Itu akan indah. I have a beautifull story, Tari. I found a girl that be my wife.
Tari
Aku mendekam di penjara, dan tak ada yang membelaku, aku meringkuk semalaman, tidurpun sebisanya. Aku menangis sepanjang malam hingga tertidur dan ketika bangun hari sudah pagi, aku dibangunkan oleh seorang polisi yang berkata bahwa ada yang menjengukku. Aku penasaran, mungkinkah Ibu? Atau Ayah? Aku belum siap Ya Allah, aku belum siap bertemu dengan mereka, aku pasti membuat mereka  terbeban. Aku harus bagaimanaa?
Aku berjalan pelan menuju orang yang mengunjungiku. Ibu dan Ayah. Aku mempercepat langkahku dan menangis di hadapan Ibu dan Ayah.
“Ibuuuuuuu.. Hiks… itu bukan Tari Buuu, itu bukan Tariiii”
“Ibu percaya nak, Ibu percaya”
Aku tidak berkata apa-apa kepada Ibu selain menangis, batinku tak kuasa menceritakan semuaa, belum lagi aku teringat cita-citaku, ini adalah hari terakhirku untuk ujian semester, dan aku mungkin tidak bisa mengikutinya.
“Maaf Bu, jam besuk Ibu sudah habis” seorang polisi tiba-tiba datang dan memisahkan kami.
“Oh iya, Pak, terimakasih!”
“Tari, kamu jaga diri yaa, jangan sampai kamu sakit, ini Ibu bawakan makanan untuk kamu, ayam goring kesukaan kamu, jangan lupa shalat ya ndok”
Aku hanya menganggukkan kepala.
Sepulangnya Ayah dan Ibu, aku masih memikirkan ujian semesterku. Tidak! Aku tidak boleh begini, aku tidak bersalah, kelak mereka akan mengetahui dan aku tidak bisa melakukan apa-apa lagi jika aku sudah tidak mengikuti ujian semester. Aku meminta izin kepada Pak Polisi untuk mengizinkanku berbicara dengan kepala polisi sebentar, awalnya mereka tidak mau tapi aku terus membujuk dan mereka akhirnya mengantarkanku ke ruang kepala polisi.
“Permisi Pak, salah satu tahanan ingin berbicara dengan anda”
“Biarkan dia masuk”
Aku masuk ke ruangan kerja Pak Kepala Polisi itu, kemudian aku duduk di bangku yang ada di depan mejanya.
“Maaf saya telah lancang untuk meminta berbicara kepada anda, tapi saya ingin meminta sesuatu Pak”
“Apa? Apa kamu sudah menemukan bukti bahwa kamu tidak bersalah?“
“Belum, Pak. Saya ingin mengikuti hari terakhir ujian semester saya pak, tolong. Ini semester terakhir saya”
“Apa-apaan kamu, emangnya kamu pikir kamu siapa? Gayus Tambunan? Hah?”
“Sa… “
Belum sempat aku melanjutkan perkataanku, ada seorang lelaki datang dan memotong perkataanku.
“Biarkan dia mengikuti ujiannya Pak!”
Dia seperti pernah kulihat sebelumnyaa, tapi dimana yaaa?
“Saya yang akan menjamin, lagipula gadis ini belum benar-benar terbukti bersalah,  seandainya saja dia bukan  tersangka yang asli sementara dia tidak mengikuti ujian semester kali ini, maka cita-citanya hancur sudah. Bagaimana mungkin Bapak tega menghancurkan cita-cita seorang gadis? Lagipula dia tidak akan kabur Pak! Bapak cukup memborgol kakinya saat ujian berlangsung”
Polisi itu tampak berpikir keras kemudian memandangiku dari atas sampai bawah, berusaha menerka-nerka dapatkah aku dipercaya?
“Baiklah, kami akan mengutus banyak polisi untuk mengawal”
Aku tersenyum, setidaknya aku masih bisa mengikuti ujian, entah apa reaksi semua teman-temanku nanti, aku harus tetap mengejar mimpiku. HARUS!
Karena waktu ujian sudah hamper dimulai, Polisi itu menyiapkan segalanya dalam waktu yang singkat tapi tetap penuh kesiagaan dan perhitungan.
Ditengah perjalanan menuju kampusku, aku masih bingung siapa lelaki yang meolongku itu? Wajahnya seperti taka sing lagi, aku bahakan merasa pernah mengenalnya.
Ingatanku melambung di sepuluh menit yang lalu ketika ia memperkenalkan diri.
“Oh iyaa, saya Kafka. Orang yang  telah diberikan ginjalnya oleh ayahmu. Saya mendengar bahwa Pak Faisal tidak bisa ke rumah karena kasus kamu, jadi saya langsung mengunjungi kamu, tapi sepertinya kita pernah bertemu yaaa? Iyaa ga sih?”
“Iyaaa, aku juga ngerasa, tapi dimana yaaa? Ng…. Nah! Di  rental! Kamu yang ngasih aku FD yang didalamnya ada tugas skripsi aku.”
“Oh  iya benar, kamu yang buru-buru pergi itu yaa? Haha”
“Iyaa aku minta maaf, tapi aku sudah mengembalikan FD mu ke temanmu yang juga menjaga rental itu kok”
“Iyaa aku tahu, aku jarang ke rental itu soalnya, paling Cuma pagi dan ngecek sebentar trus aku pergi ke..”
“Loh? Emang kamu ga dimarain Bos kamu?”
“Maaf, apa? Bos?”
“iyaa, Bos kamu, yang punya rental itu loohhh”
“Ooh, sebenarnya aku ini…”
Aku bingung, dia tuh mau ngomong sebenarnya dia itu siapa yaa? Pak Polisi tiba-tiba dateng pas dia blm selesai ngomong. Aku penasaran.
“Kita sudah sampai!”
Aku keluar dari pintu mobil polisi, dan okee aku udah tau kalau ini akan terjadi, semua orang di kampusku mencibirku, anehnya tetap saja terasa sakit, padahal aku sudah mempersiapkan diri untuk saat ini. Aku dalam keadaan tangan masih diborgol dan dalam penjagaan ketat diantar menuju kelas untuk mengikuti ujian semesater. Yap, reaksi kelasa lebih-lebih membuat hatiku teriris, aku menyeesal kenapa aku tidak bergaul dengan mereka, jika saja aku bergaul dengan baik oleh mereka sebagian dari mereka pasti ada yang membelaku dan yakin bahwa aku tidak mungkin melakukannya, tapi sepertinya semua mata yang ada di kelas ini tajam sekali. Aku mendekati sebuah kursi kosong di kelas, tetapi semua orang yang duduk disamping, dibelakang dan di depanku menghindariku.
 “Ga ada yang mau duduk deket sama pembunuh”
Sakitnya hatiku setelah tahu sumber suara itu adalah Restu, dia harusnya percaya padaku. Mungkin dia hanya terpukul melihat Vivi sehingga dia bertingkah seperti itu padaku, bahkan bekas tinjunya masih terasa ngilu, dan aku yakin wajahku berbentuk tidak karuan.  Jika bukan karena cita-citaku aku akan menyerah sampai disini.
“Eh lu kalo mau ikut Ujian diluar aja dehh, ganggu tau ga sih ada banyak polisi, semua yang ada disini jadi keganggu konsentrasinya!”
Entah itu suara siapa, yangjelas benar apa yang dikatakannya, aku tidak boleh menghalangi mimpi orang lain, akhirnya aku beranjak dan meminta tolong kepada Bapak Polisi agar membawakan mejaku ke luar kelas. Setidaknya di luar kelas hening, tidak aka nada suara rebut meminta contekan, dan  Pak Polisi juga cukup mengerti untuk diam sejenak.
Aku mengikuti ujian terakhir ini dengan setekun-tekunnya, aku tidak boleh gagal. Sebenarnya aku ingin mengerjakan ujian di penjara ajaa, tapi ternyata ga bisa kalo dadakan gini, ya aku kan masuk penjaranya dadakan  katanya-_-, ga ada yang bisa ngantar soal dan menjaga biar aku ga nyontek. Siapa juga yang mau masuk penjara direncanakan? -_- aneh dasar.
Okee,  seperti perjanjian, selesai mengikuti hari ujian terakhirku aku kembali ke penjara. Kedua tanganku kembali diborgol dan aku berjalan menuju mobil Pak Polisi.
 “Hey, kok bengong?”
Aku kaget, sosok didepanku ini, Kafka yang tadi membantuku untuk mengikuti ujian ini.
“Hah? Loh, kok kamu ada disini?”
“Aku Cuma ngecek aja apa kamu benar-benar diberi kesempatan untuk ujian apa enggak! Eh gimana ujiannya?”
“Alhamdulillah  bisa, ya emang sig a bisa semaksimal biasanya, kan semalem ga belajar juga hehe”
 “Berarti bener kata Ayah kamu yaaa, kamu itu pintar!”
“Maaf Pak, kami harus segera membawa gadis ini kembali ke kantor Polisi”
Aku sedikit diseret untuk kembali berjalan menuju mobil. Aku menatap Kafka lagi dan melontarkan senyum sam bil berteriak
“Terimakasih!”
Dia hanya membalas senyumku dan menganggukan kepala. Udah ganteng, tinggi, putih, pinter, dokter, kaya, baik lagi. Aduh dia senyum lagi, My God. Aku membalas senyumnya.
Beberapa hari kemudian….
Aku masih mendekam di penjara dan aku mulai resah kenapa si tersangka asli tidak kunjung datang, sementara sekarang sudah waktunya aku disidang. Aku dikeluarkan dari penjara dan dibawa ke ruang siding, aku duduk di kursi tepat didepan Hakim. Sendirian. Aku rasanya ingin kembali ke penjara saja dibanding harus ke meja hijau ini. Aku takut, aku resah, akuu…
“Tunggu!”
Semua orang dalam ruangan mengalihkan pandangan kea rah sumber suara itu berasal. Tiba-tiba seorang polisi membawa seorang lelaki dan ditariknya ke meja sidang. Restu.
“Kami menemukan tersangka yang asli Pak, ini dia!”
 “Bukti-bukti sudah sangat jelas Pak, bahkan pembantu di rumah korban telah mengaku dia diancam untuk memberikan kesaksian palsu agar nyawanya selamat, sehingga menyebabkan gadis yang sekarang duduk di bangku tersangka itu mendekam di penjara. Tersangka diduga kuat membunuh, terlebih karena ternyata setelah diselidiki korban sedang dalam keadaan hamil ketika kejadian terjadi. Tersangka yang tidak mau bertanggungjawab dan takut ketahuan langsung bergegas menghajar korban. Sang pembantu yang bermaksud membela juga ikut dihajar dan justru diikat serta disumpal mulutnya. Korban berlari ke lantai atas selagi tersangka mengikat pembantunya dan menelpon Saudari Tari untuk meminta bantuan, tapi saudari  Tari terlambat datang. Begitu kiranya Pak.”
Aku kaget, lega, kecewa dan… gelap.
Sahabat sejatiku hilangkan dari ingatanku
Di hari kita saling berbagi
Dengan kotak sejuta mimpi
Aku datang menghampirimu….
Apa ini? Terlalu terang, tidak! Apa ini? AAAAAAAAAAAAaaaaaa.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!”
Aku terbangun. Hal pertama yang aku cerna adalah aku berada di rumah. Apa itu semua mimpi? Penjara itu? Restu? Vivi? Kafka? Aku berusaha menelpon Vivi sampai  Ibu dan Ayah masuk dan mendekapku. Mereka menangis. Aku masih tak mengerti, apa itu semua mimpi? Semoga ini hanya mimpi, mulutku masih berat untuk berbicara, kejadian itu benar-benar membuat tenagaku tersedot habis, dan menggerogoti hati. Aku melihat ada seorang pria lagi yang masuk. Kafka. Oh God! Apa itu bukan mimpi?
“Syukurlah nak akhirnya terbukti itu semua bukan salahmu.”
Ibu berkata sambil menahan isaknya, dan aku mulai sadar itu semua bukan mimpi. Aku kehilangan Vivi? Bukan mimpi! Aku berusaha membuka mulutku yang masih berat untuk terbuka, perihnya luka yang diberikan Restu pun masih terasa.
“Seandainya aja Tari datang lebih cepat Buu, mungkin Vivi masih ada”
Selesai mengatakan itu, airmataku jatuh. Ini bukan masalah berapa banyak airmata yang telah kujatuhkan untuk Vivi, tapi beratnya beban dihatiku dan aku harus mengeluarkannya.
“Ini semua bukan salah kamu sayaang, kamu melakukan yang terbaik untuknya. Ibu bangga”
Ibu kembali memelukku, aku arahkan pandanganku ke arah Kafka, dia tersenyum. Dia sangat baik, sewaktu aku dipenjara, dia setiap hari datang dan memberi semangat kepadaku. Aku merasa bersemangat setelah mendengarnya menguatkanku, apaa aku jatuh cinta? Haha ngomong apa aku ini, baru keluar dari penjara langsung ngawur. Ini bukan saatnya aku memikirkan cintaa smentaraa hatiku sakit karena sahabatku pergi dan tak akan kembali lagi.  Rasanya hatiku seperti kertas yang terbakar. Remuk. Abunya entah kemana.
“Teman-teman  kamu di depan Tar, kamu mau menemui mereka atau beristirahat lagi?”
“Aku belum siap Bu, aku mau istirahat saja”
Semua orang pun pergi meninggalkan kamarku dan aku pun tidur.
Aku bangun jam 5 sore,  aku pergi keruang tengah dan  tidak mendapati seorang pun disana. Aku hendak pergi ke dapur sebelum menemukan sebuah undangan,  sepertinya undangan pernikahan, tapi yang menarik perhatianku adalah covernya bergambar botol yang tengah mengambang  di bibir pantai, botol berisi kertas. Aku mengambilnya dan membacanya. Ternyata benar, ini undangan pernikahan. Aku buka surat undangan itu.
Muhammad Kafka Ramadhan
Dan
Rafika Zahratunnisa
Kafka? Lusa mereka akan menikah?  Perasaan apa ini? Udarapun seperti terlalu berat ntuk ku hirup, aku ga boleh jatuh cinta dengan Kafka yang ini, dia bukan Kafka teman kecilku, teman kecilku masih berada di luar negeri.  Kafka yang ini sudah memilki pasangan, dan akan menikah lusa, sementara lusa aku akan  pergi ke pantai Anyer bersama teman-teman kampus, yaaaah meskipun ga ada Vivi, tapi dia ingin sekali aku mengikuti kegiatan itu. Padahal kegiaatannya juga paling cuma makan jagung bakar , nyanyi-nyanyi ga jelas, gapapalah sekali-kali. Sekali lagi kubaca nama yang tertulis di undangan itu, Apa aku benar jatuh hati? Masa iya segampang itu aku jatuh cinta pada oranglain? Aku melipat kembali undangan itu dan meletakkannya kembali diatas meja ruang tengah. Aku pergi ke dapur, makan yang banyak sebagai pelampiasan semua hal yang terjadi. Tapi makanan hanya masuk dan terasa seperti sekam dimulutku, hatiku seperti terbanting, pecahannya seolah jatuh satu persatu. Aku ini kenapa?
Kafka
Apa Tari sudah membaik? Batinnya pasti sakit setelah apa yang telah terjadi. Semangatnya dalam menggapai mimpi apapun keadaanya mengingatkanku pada teman kecilku. Apa dia teman kecilku? Teman 10 hariku di Anyer, haha. Tapi meskipun banyak kemiripan antara Tari teman kecilku dan Tari yang ini, sepertinya mereka orang yang berbeda. Tari, teman kecilku, lusa aku akan menikah.
Lusa hari….
Aku sudah siap dengan jas, sepatu, dasi, make up, semuanya deh, aku sudah sangat siap. Tapi sesiap apapun persiapan aku, aku mengaku bahwa aku gugup. Ini adalah pernikahan aku dan Fika. Aku sudah duduk di masjid yang cukup luas, didepanku adalah seorang wali nikah. Aku gugup. Benar-benar gugup. Untuk menghilangkan kegugupan aku memperhatikan sekitar, masjid ini tidak terlalu luas tapi terlihat sangat luas, penuh dengan  tulisan Arab di dindingnya. Dilihat dari catnya, masjid ini pasti sering di cat ulang. Dan….
Tari
Aku sudah berangkat menuju pantai Anyer dari subuh. Aku dan teman kampusku naik mobil bus Hiba, berAC, dan nyaman. Aku duduk disamping teman sekampusku yang selama ini sangat membenciku karena aku tidak mau bergaul, tapi setelah dia tahu aku tetap mengikuti acara kampus ini walaupun tanpa Vivi dia kembali respect kepadaku. Dan okee, aku akui dia asik jugaa, dan lewat perjalanan ini aku jadi tahu kalau semua teman kelasku sangat ramah dan asik. Aku jadi bertanya-tanya kenapa aku tidak pernah bergaul seperti ini dulu? Aku terlalu terobsesi dengan cita-citaku. Tapi aku baru sadar, buku juga kalau kita tidak punya teman percuma , aku mau minta bantuan kerja dari siapa? Mungkin aja mereka lebih sukses dariku, aku kan gatau.
Sesampainya di pantai, kalau orang lain memutuskan untuk merapikan baju terlebih dahulu, aku memutuskan untuk ke pantai, yaa seperti biasa aku membawa  kertas, dan pulpen, tapi aku lupa membawa botol, ketika aku menulis dan duduk di bibir pantai, sebuah botol menghampiriku.
“Wah ini dia yang dicari, ini namanya pucuk dicinta botol pun tiba”
Aku membuka botol itu, tapi ternyata ada suratnya

Aku tidak bisa menjadi seperti dirimu
Dan dirimu tidak bisa menjadi sepertiku
Tapi ini lah hidup
Kita memiliki jalan yang berbeda untuk tujuan yang sama
SUKSES

Aku tersenyum membacanya, aku lipat kertas itu dan aku masukkan ke jeans lusuhku. Aku menulis sebuah harapan dalam secarik kertas yang aku bawa dan memasukkan kertas itu ke dalam botol, lalu kututup dan kulemparkan jauh-jauh. Berharap yang membacanya adalah teman kecilku. 2 tahun lagi!











Dua tahun kemudian….
Tari sedang sibuk merancang sebuah rumah, atau tepatnya perkomplekan. Yaah, objeknya melimpah pada bagian merancang rumah, dan sampai sekarang walaupun sudah 12 tahun dari janji kecil itu, tetapi Tari belum bisa membuat sebuah gedung. Sebenarnya sih aku sudah merancangnya tapi aku tidak pernah mendapat tawaran untuk gedung, selalu rumah, rumah, dan rumah. Eit tapi jagan salah biarpun cuma rumah tapi upah yang diterimanya juga besar. Satu hal tentang kesuksesan, Kita harus mengejar mimpi kita ga peduli itu tinggi, karena kalaupun gagal, minimal kita sudah mencapai seperapat, setengah, atau bahkan duapertiganya. Life isn’t a movie. Hidup tak pernah semulus film-film layar lebar, hidup ini terkadang terasa sempit padahal luas, dan sebaliknya.
Hari ini udah tepat 12 tahun….
Tari
“Tari?”
“Kafka..”
Sosok yang berdiri itu Kafka teman kecilku atau Kafka….
“Kok kamu ada disini Ka?”
“Kamu Tari? Tari teman kecil aku kan? Iya kan?”
Aku tidak menjawab. Aku tidak mau kalau ini adalah nyata, semoga ini mimpi.
“Aku sudah menjadi Dokter Rid an kamu sudah tau itu kan? Haha lucu yaa, ternyata kamu ama aku teman kecil. Bagaimana dengan impian kamu? sepertinya kamu belum bikin gedung?”
Aku masih tidak bisa berkata, aku hanya tersenyum kecut, sepertinya Kafka menyadari itu.
 “Aku belum melihat satu gedung pun yang bisa membuatku yakin ini pasti rancangan kamu!”
“hahaha” Aku membalikkan badanku dan tertawa palsu.
Airmataku menetes entah mengapa, tapi aku tak bergerak mendekati sosok yang mengaku-aku Kafka itu. Perlahan Kafka mendekat, tapi belum sempat dia menuju diriku…
“Papa! Dipanggil mama! Katanya kita udah siap pulang!”
Aku menghapus airmataku dan kembali menatap kea rah Kafka. Tiba-tiba muncul seorang wanita cantik, dan aku yakin ini pasti Rafika, aku menjabat tangannya.
“Ka, kayaknya aku harus pulang juga, udah sore, kalo ada perlu sms ajaa bisa kan? Ga usah  pake ke Anyer segala lagi kayak gini, haha”
Aku berusaha melucu, dan sepertinya itu tidak terlalu buruk. Kami saling berpamitan, tapi Kafka dan keluarga kecilnya yang terlebih dahulu meninggalkan pantai ini, meninggalkan aku tepatnya. Aku membalikkan badan dan kembali menatap pantai.
“apa yang kamu tulis di kertas itu?”
“12 tahun lagi akan kuberitahu kamu. Tapi kamu janji harus dateng yaaa”
Aku meneteskan airmata lagi, angin terasa lebih dingin dari biasanya. Hahaha, bahkan Kafka melupakan bertanya tentang apa yang aku tulis.. hik… apa kamu sudah tidak ingin tahu lagi Kafka? Atau kamu menerka apa yang aku tulis dan menganggap itu benar?
Apa kamu tahu bahwa yang aku  tulis di surat ituuu…

Aku ingin melihat Kafka bahagia

Tangis ku meledak. Hal yang aku tulis dalam kertas itu memang terwujud, seharusnya aku bahagia! Seharusnya aku bahagia! T.T
 Ya Allah. Dia memang bahagia, tapi kenapa terasa sakit? Mungkin seharusnya 12 tahun yang lalu aku menulis “ Aku ingin bersama Kafka selamanya” atau “aku ingin menikah dengannya?” atau… Hiks… Hiks…
__oOo__