novel pertamaa, selamat menikmati...
Prolog
“Aku akan datang kembali, kita akan bermain
lagi, Ri”
Tari hanya terdiam kemudian
menundukkan kepala, dan menyembunyikan kepalanya dibelakang kedua tangannya
yang dilipat diatas lutut.
“Kita pasti ketemu lagi, Riiii.
Nanti kalo kita ketemu, aku udah jd dokter, dan kamu….Mmmm” kafka tidak
melanjutkan perkataannya dan
menggaruk-garuk kepalanya, hal yg biasa ia lakuakan jika ia sedang berpikir.
“Aku mau membuat gedung!”
kata-kata Tari mengagetkan Kafka yang sedang berfikir. Tari berdiri dan menatap
Kafka lekat –lekat.
“Dalam waktu 12 tahun, kamu
akan melihat gedung indah yang aku rancang, berdiri kokoh di Ibukota!”
“Arsitektur maksud kamu, Rii?”
“Aku gatau kaa, namanya
apaaa” Tari berkata sambil memberikan
senyum yang memperlihatkan gigi-gigi indahnya. Manis. Tanpa sadar Kafka juga tersenyum.
Semilir angin tiba-tiba
berhembus menyapa, tapi kali ini lebih dingin. Terlalu dingin hingga merasuk ke
sela-sela saraf dua anak yang baru saja
lulus SD itu, lebih-lebih mereka berada di pinggir pantai. Tak peduli betapa
dinginnya pantai, mereka masing-masing menuliskan sesuatu dalam secarik kertas.
Tari melihat tulisan tangan Kafka pada kertas itu.
Aku ingin jadi seorang dokter
Kemudian Kafka memasukkan
kertas itu ke dalam botol, dan dia menengok
ke arah Tari lalu berusaha melihat apa yang ditulisnya, tapi terlambat. Tari
sudah memasukkan kertas yang telah dia tulis ke dalam botol, kemudian ia
menutup botol itu dan melemparkannya jauh-jauh ke arah laut. Sepertinya Kafka
tengah menebak-nebak apa yang Tari tulis di kertas itu. Mungkin….
Sepuluh tahun kemudian….
Kafka
Sore
ini cerah sekali. Awan terlihat begitu lembut dari dalam pesawat, seolah
merayu-rayu agar aku menggenggamnya. Hahaha, aku meraasa terlalu merindukan ini,
terlalu merindukan awan ini. Aku mengalihkan pandangan ke dalam pesawat.
Pramugari sedang sibuk memberikan aba-aba kepada penumpang agar mengenakan
sabuk karana pesawat akan mendarat, semua sibuk mengikuti aba-aba pramugari
tersebut termasuk aku. Ku arahkan pandanganku ke bangku di sampingku. Orang di sampingku
tengah tertidur pulas dengan cantiknya, seperti putri tidur. Kulitnya putih
seputih Putri Salju, dan bibirnya merah semerah Delima. Tanganku berusaha merapikan rambutnya yang
tertiup angin sehingga menutupi wajahnya, dan berusaha membangunkannya. Dia
adalah, Rafika. Kekasihku.
“Kenapa
,Ka? Kita udah mau sampe yaaa?”
“Iya Fik.
Kamu pake sabuknya yaaa”
Aku
tersenyum dan menatapnya yang sedang
sibuk mengenakan sabuk.
“Kamu
kenapa? Kok ngeliatin aku?“
“ Enak
ajaa, siapa yang ngeliatin kamu. GR! Iler kamu tuh di pipi!”
Fika
sibuk mengelap pipinya berkali-kali, dia sepertinya bingung, karena tidak
menemukan sama sekali air liur :p.
“
Manaaa? Ga ada kok! Kamu bohong yaaaa? “
Dia
menjewer telingaku, dan sumpah, rasanya
sakit banget. Tapi gapapa sih, kalo yang jewer dia mah. Ampe putus juga relaa.
Eh tp jangan deh :P
Tari
“Tariiiiii!
Tariiiiiii!” terdengar suara bingar yang
bisa membuat kepalaku pecah jika aku mendengar itu lebih lama lagi.
Akhirnya aku baerusaha bangun dan
beranjak dari tempat tidurku kemudian
mendatangi asal suara itu. Sambil menguap, aku membuka pintu dan……
“Ini
udah jam berapa Tari? Nanti kamu terlambat
kuliah!” Aku yang entah belum sadar betul atau apa, justru tidak
menanggapi perkataan Ibuku itu. Ibuku cantik, kata orang malah cantikan Ibuku
daripada aku -_-. Dia dari kampung dan bukan berasal dari keluarga berada,
kemudian dia merantau ke Jakarta. Dia orang yang tangguh dan rela berkorban, dia
bahkan rela tidak melanjutkan sekolah
SMAnya untuk bekerja dan membiayai sekolah keempat adiknya. Dia ga
terlalu tinggi, rambut indahnya yang hitam lurus sekarang berubah putih dan
entah modelnya apa, keriting ga, lurus juga ga. Sejak Ayah berhenti bekerja dan
rugi karena peternakan sapinya yang menyebabkan besar pasak daripada tiang,
bahkan bisnis susu Ayah pun di fitnah, sampai Ayah harus ganti rugi, Ibuku
tidak pernah merawat dirinya. Yang penting anaknya bisa sekolah. Begitu fikiran
dan ucapaannya. Tapi yaaa tetep aja dia cantik, awet muda.
“Tari!”
aku tersadar dari lamunanku, seluruh sukma ku rasanya langsung berkumpul dan membuatku 100% sadar.
“Yaudah
sana! Sekarang mandi! ini udah jam
berapa? Ntar kuliahnya telat”
“Astagfirullah,
aku lupa!”
Aku
bergegas menutup pintu kamarku lagi, kemudian masuk ke kamar mandi. Dibelakang
pintu mungkin Ibu hanya menggelenggkan kepala dan pergi bergegas menyiapkan
makanan. Yah, beginilah kebiasaanku, selalu bangun siang eit bukan berarti aku
begadang karena hal yang tidak penting. Aku kuliah di pagi hari dan kemudian
bekerja di Pizza Hut di sore hari, pulangnya aku harus menyelesaikan tugas
kuliahku dan aku tidur. Aku bangun jam 5 subuh, sahlat, tapi tidur lagi, hehehe
jadilah aku kesiangan.
20
menit kemudian aku keluar dari kamar dalam keadaan rapi dan siap untuk
berangkat kuliah.
“Tari!
Makan dulu kamu nanti sakit.”
Aku
langsung bergegas ke meja makan, duduk dan memakan habis semua yang ada di
piringku, yaaa meskipun hanya telur goreng dan nasi putih yang diberi kecap.
Selesai makan aku langsung meneguk segelas air putih dengan sekali gerakan dan
berpamitan kepada kedua orangtuaku. Aku naik sepeda sampai ke kampus, maklum ga
ada kendaraan dari rumahku yang bisa langsung ke kampus, padahal jaraknya
lumayan dekat, tapi kalo naek angkot harus muter-muter dulu.
Sesampainya
di kampus aku langsung terbirit-birit memarkir sepedaku dan masuk ke kelas.
BRAK!
Aku
jatuh, dan orang yang aku tabrak pun ikut jatuh, kertas-kertas dan buku-buku
yang dibawa orang itu berhamburan, Aku yang panik dan cemas karena sudah telat
masuk kelas, langsung meminta maaf, kemudian berdiri dan berlari menuju kelas
tanpa membantunya membereskan buku.
“Fiuh,
untung ga telat”
“lu
ngapa ri? Kayak orang abis perang. Haha” kata salah satu temanku di kelas. Oke, aku
ralat. Satu-satunya temanku di kelas. Well, aku susah bersosialisasi tapi ini
tuh karena aku ga bisa mengikuti
pergaulan mereka. Bukan berarti mereka golongan high, hanya saja aku
terlalu sibuk dengan cita-citaku untuk membuat design gedung sehingga aku tidak
pernah menghiraukan kegiatan lain selain belajar, sementara mereka yang lain
sibuk dengan kegiatan mahasiswa dsb, macem-macem deh, emang cuma Vivi yang
ngerti. Dia ga pernah tersinggung kalo ajakannya selalu aku tolak. Vivi
sebenarnya termasuk golongan berada, cantik dan pintar, dia banyak dikagumi
para mahasiswa laki-laki disini, dan sekalipun semua orang sebal denganku karena
aku gamau bersosialisasi, dia tetap menjadi sahabayku.
“Gua
nyaris telat viiii”
“Slow,
emangnya lu gatau ada mahasiswa baru di kelas kita, dan Pak Bono sibuk ma dia
deh, jadi agak telat”
“Emang
yaa? Gua gatau vii” aku tersenyum dengan memperlihatkan gigi-gigiku yang kata
orang sih indah, membuat senyumku manis J
“lu
mah apa yang tau sih viii”
Tiba-tiba
Pak Bono datang dengan seorang mahasiswa yang bisa dibilang Ganteng juga. Ups.
Aku ga boleh begini. Aku harus fokus kuliah. Aku bukan berasal dari golongan orang berada,
tapi miskin juga ga juga sii, cuma pas-pasan aja, aku mengandalkan beasiswa
untuk biaya kuliahku, jadi IP harus terus baguus.
“Anak-anak!
Ini adalah teman baru kalian. Namanya Restu” kata Pak Bono sambil tersenyum
kepada semua mahasiswa yang ada di kelas.
“Nah,
Restu, sekarang kamu bisa duduk dan belajar seperti yang lain”
Tubuhnya
tinggi, matanya hitam, kulitnya coklat dan membuatnya terlihat manis,
senymnyaaaaaa….. Oh My God! Dia duduk disamping akuuu. Aku berusaha ‘stay
cool’ dan tidak meliriknya sama sekali,
dan well…. Aku udah tau pasti begini! Dia ngajak kenalan Vivi yang ada
dibelakangku. Damn! Kenapa aku harus ngurusin yang begituan, FOKUS!
Kafka
Akhirnya
aku bisa menginjakan lagi kakiku di pantai ini. Anyer….. kau masih seperti yang
dulu. Sederhana, tapi penuh cerita. Aku memutuskan untuk mendekati pantai
sambil sesekali mengambil foto, Fika masih sibuk di penginapan membersihkan
barang-barangnya. Ibu Fika sudah lebih dulu ada disini, kami hanya menyewa satu
penginapan. Tapi itu cukup untuk kami berempat. Ibu Fika dan Ibuku satu kamar
di bawah, Fika di kamar yang ada di depan kamar Ibu-Ibu itu, dan aku di kamar
atas, yang paling kecil, tapi menurutku itu ga masalah, karena aku bisa
menikmati pemandangan, terlebih, kami memilih penginapan yang paling dekat
dengan pantai.
Tiba-tiba
ada yang menyentuh kakiku. Sebuah botol. Seolah ombak memang menitipkannya
padaku. Aku berharap ini adalah botol yang sama dengan 10 tahun yang lalu.
Kubuka isi botol itu, dan kutemukan kertas.
Aku
mungkin hanyalah manusia biasa. Berjalan dengan dua kaki, bukan empat. Memiliki
dua tangan, bukan empat atau lebih seperti dewa. Aku hanya seorang perempuan
yang berusaha menggapai mimpinya.
Berjalan biasa diatas jalan yang tak biasa. Begitu yang sering dikatakan ayah. Jika orang mengerjakan tugas hanya cukup
menyalakan komputer atau leptopnya, aku harus pergi ke rental yang lumayan jauh dari rumahku,
bukan berarti di dekat rumahku tidak ada rental, hanya saja rental langgananku
itu jauh lebih murah. Jika orang hanya tinggal meminta pada orangtuanya untuk
biaya kuliah, aku? Aku harus mencari beasiswa, bahkan Ayahku sampai berhutang sana sini. Sekali
lagi, aku hanya orang biasa yang mempunyai mimpi luar biasa. Kertas ini akan
menjadi saksi, aku menangis menulisnya, aku lelah direndahkan, lelah dicela
bahkan oleh saudara-saudaraku sendiri. Mereka bilang “ngapain si kuliah,
mending juga kerja! Orang duitnya ga ada!” . well, sakit banget dengernya,
hahahaha tapi aku harus terus berjalan. Yaaa, berjalan seperti biasa. Berjalan
biasa di jalan yang tak biasa.
Aku
terhenyak membacanyaa, aku mungkin termasuk orang biasa yang berjalan di atas
jalan yang biasa. Walaupun aku menuntaskan S1 dokterku dalam waktu tiga tahun,
tapi biaya kuliahku ditanggung orangtua, aku tak perlu ke rental untuk
mengerjakan tugas, serba gampang deh. Aku jadi malu dengan gadis yang menulis
ini, aku tak lebih mandiri dari dia. Dan mungkin tak lebih kuat dari dia.
“Kaaaaa!”
“Eh,
FIk. Udah selesai rapi-rapinya?”
“beloman
sih. Tapi aku disuruh jemput kamu buat ngajak kamu makan”
“Ooh,
oke. Nanti aku nyusul, 5 menit lagi yaa. Kamu ke penginapan lagi aja duluan”
“okee”
Aku
melipat kertas itu dan memasukkannya ke kantong. Kemudian dengan pulpen yang
biasa kusangkut di rompiku, dan secarik kertas yang ada di sakuku. Aku menulis
sesuatu, dan memasukkannya ke dalam botol.
Aku melemparkan
botol yangsama dengan isi yang berbeda kea rah pantai, dan berharap yang
membacanya adalh gadis itu. Semoga.
Tunggu,
kenapa dengan mataku? Semua terlihat seperti memburam, lama-lama luntur , dan
tiba-tiba HITAM.
Tari
Aku
lagi-lagi memandang secarik kertas yang terpampang di dindingku. Diatas secarik
kertas itu, aku menuliskan target-targetku.
·
Tamat kuliah
dengan IP yang tinggi;
·
Dapat kerja yang
nyaman, gaji lumayan;
·
Mendesign gedung
yang indah.
Aku
harus bisa! Dan aku pasti bisa! Aku
berusaha menghentikan angan-anganku yang masih jauh itu, dan kembali belajar….
“Tari”
Aku terbangun,
dan sadar kalau aku sudah tertidur di meja belajarku, dan buku-bukuku
berantakan. Tiba-tiba aku teringat sesuatu.
“Jam
berapa ini , Bu?”
“Jam 5
, Ri”
“Ya
ampun Tari harus kerjaa” Aku panik , dan akhirnya hanya mengambil baju kerja
dan pergi ke kamar mandi, kemudian bergegas ke tempat kerja tanpa memperhatikan
omongan Ibu untuk makan.
Ku
kayuh sepeda dan terus ku kayuh. Jarak tempat kerjaku dan rumah memang tidak
terlalu jauh dan tidak terlalu dekat, yaah lumayanlah. Lumayan membuat kaki
pegal untuk mengayuh terus maksudnya.
Setelah
sampai di tempat kerja, aku langsung memakirkan sepedaku dan bergegas masuk ke
dalam tempat makan itu, Pizza Hut . namun belum sempat masuk, ada yang membuka
pintu bermaksud keluar, atau mungkin bermaksud memarahiku.
“Tari!Kamu
ini, sudah berapakali terlambat?”
“Maaf,
Pak. Saya ketiduran” jawabku sambil menundukkan kepala. Bosku yang gendut,
memiliki kumis panjang itu mendekatiku dan berkata
“Ini
gaji kamu bulan ini, kamu saya pecat!”
Aku
yang tadinya menunduk sontak kaget dan mengangkat kepalaku, aku masih bingung
tapi Bosku sudah entah kemana sebelum aku bisa mencerna semua perkataannya. Aku
menagis. Tapi aku tak berkata apapun, atau mencoba membeladiri dan menyalahkan
dunia. Aku hanya menangis kecil, kemudian pergi dengan sepedaku. Mengayuh dan
terus mengayuh. Menuju rumah. Aku melihat serentetan gedung-gedung di
perjalanan pulang, mereka juga pasti menyembunyikan kisah pahit sepertiku ini,
apalagi kalau bukan dipecat.
Sesampainya
di rumah, raut wajahku belum juga membaik, aduuh bagaimana jika Ayah da Ibu tau
kalau aku dipecat? Mereka pasti sedih. Belum sempat ku parkirkan sepeda dengan
benar, dari rumah terdengar teriakan.
“Ibuuuuuu!
Tolong! Tolong!”
Aku
segera masuk ke rumah dan mendapati Ibuku pingsan. Aku dan ayah sangat panik.
Ayah berusaha meletakkan kepala Ibu di pahanya, aku langsung bergegas keluar
dan pergi ke jalan raya yang tepat di depan rumah. aku menghentikan angkutan
umum yang lewat dan menyewanya untuk membawa Ibu ke rumah sakit.
Rafika
“Fik,
kamu coba deh cek Kafka di pantai, kok lama banget yaaa, “
“Ohh,
iya tantee Fika ke pantai dulu yaaa”
Aku
berjalan menyusuri pantai, dan membiarkan kakiku emnyentuh butir-butir pasir
yang kasar, aku merasakan dinginnya angin pantai dan terus menerawang ke setiap
sisi pantai mencari keberadaan Kafka. Tapi sejauh ku memandang, hanya pantai
dan pasir yang dapat kulihat, dan sebuah topi hitam yang ku lihat mengapung di air dekat bebatuan. Eit, tunggu
topi hitam? Kafka?
“
Tolong!Tolong!Tolong!” aku terus beteriak hingga ada orang yang menolongku untuk
membawa Kafka ke penginapan. Aku sangat panik. Kafkaaa, kamu kenapa? -_-
Tari
Sesampainya
di Rumah Sakit terdekat, Ibuku masuk ke ruang ICU. Kami menunggu di luar selama
tiga jam, sampai akhirnya seorang dokter
keluar dari ruang itu.
“Kalian
keluarga dari Ibu Ayu?”
“Iya
Dok, saya Fahmi suami dari Ibu Ayu dan ini anaknya”
“Istri
Bapak harus segera di operasi, keadaannya sangat kritis, dia menderita tumor
otak dan sudah sangat parah. Operasi paling lambat dilakukan esok hari”
Aku
dan Ayah tidak bisa berkata-kata, masih sibuk menelan semua perkataan yang baru
saja kami dengar dari Dokter.
“Baiklah Pak, lebih baik Bapak mengurus
keuangannya, agar isteri Bapak bisa segera dioperasi”
Dokter
pun berlalu, kemudian ayah pergi, sepertinya untuk mengurus keuangan. Aku
menunggu didepan ruangan Ibu, menatapnya dari jendela. Dia dalam keadaan yang
tak berdaya, oh God apa yang harus aku lakukan?. OrBanyak orang bilang dia
cantik, tapi dalam keadaan seperti ini, dia… kasihan, seolah raut wajahnya
menggambarkan kesepian di kegelapan masa kritisnya. Apa ia sendirian disana?
“34juta rupiah,Ri” Tiba-tiba Ayah sudah ada
disampingku, berkata dengan lemas dan duduk di kursi tunggu yang berada tepat
di depan ruangan Ibu.
“Tari
punya sekitar 7juta Yah. Nanti biar Tari cari cara buat nemu sisanya. Yang
jelas Ibu pasti akan segera dioperasi Yah. Tari janji! “
Aku
menatap kaca ruangan Ibu lagi, melihatnya lekat-lekat, tubuhnya yang dipenuhi
oleh alat-alat yang entah itu apa, terlalu banyak selang di tubuhnya. Rumah
sakit ini kenapa tiba-tiba berubah menjadi ruang penyiksaan? Batinku tersiksa
melihat ini semua. Tiba-tiba airmata sudah jatuh ke lantai putih, yang
sepertinya terlihat lebih dingin dari biasanya. Semua disini bewarna putih,
dimuli dari cat dinding, lantai putih tanpa motif, seprai tempat tidur,
semuanya putih, tapi kenapa aku menemukan kegelapan dari keputihan itu,
kegelapan yang menenggelamkanku dan Ayah dalam panik, takut, dan bingung. Aku
bergegas menghapus airmataku dan melihat ayah.
“Tari pergi dulu yaa Yah, Tari mau cari
sisanya.”
“Tapi
Ibu kamu harus segera dioperasi paling lambat besok, Ri. Kita harus cari
kemana?”
“Yah! Kita
masih punya Tuhan! Aku yakin kita bisa mencari sisanya Yah, aku yakin!” aku
berkata seperti orang yang putus asa tapi tetap menyemangati dirinya, sambil
meldakan tangisku.
“aku
pamit Yah.”
Kafka
Tiba-tiba
sekelebat cahaya putih mendekat, dan terus mendekat, aku seperti terhisap
olehnya, terus terhisap ke dalamnya. Aku mungkin belum membuka mata, rasanya
berat, tapi aku sudah sadar. Bau ruangan ini sangat tidak asing. Aku membuka
mataku perlahan-lahan. Aku.. di RUmah Sakit
“Ka, kamu
gapapa?”
“Gapapa,
Ma. Cuma agak pusing ajaa.”
“Ginjal
kamu harus dioperasi sayaaang”
“Operasi
Ma?”
“Iya,
kita sedang mencari pendonor untuk kamu.”
Mama
memelukku yang masih terbaring di tempat tidur sambil menangis.
“aku
gapapa, Ma.”
“Tadi
kamu pingsan di pantai, Fika langsung membawa kamu ke penginapan lalu kami
memutuskan membawa kamu ke rumah sakit ini karena takut kamu kenapa-kenapa. Setelah
ini kita pulang yaa, kita ke dokter pribadi kamu yang ada di Jakarta”
Aku
tersenyum kecut.
“lucu
ya Ma. Dokter punya dokter pribadi. Maaf
yaa Ma, gara-gara Kafka liburan kita jadi buruk begini”
“Gapapa,
sayaang. Mama lebih baik kehilangan liburan dibanding kehilangan kamu”
Fahmi
(Ayah Tari)
Aku berusaha
menahan perih di hatiku, yang semakin lama semakin menjadi ketika melihat
isteriku terbaring tak berdaya di dalam sana. Airmata tiba-tiba menetes di
pipiku yang mulai penuh dengan keriput-keriput, yang menjadi saksi umurku.
Suami apa aku ini? Aku hanya diam disini? Membiarkan anakku senidirian mencari
uang? Aku harus mencari cara. HARUS! Apapun!
Sekelebat
ide terlintas di fikiranku, aku menatap lagi jendela itu,
“Aku
mencintaimu, isteriku”
Aku
pergi meninggalkan ruang itu, jendela itu, tubuh itu, Rumah Sakit itu,
segalanya. Aku harus berjuang!
Aku
pergi melintasi jalan yang begitu kaku, atau justru hanya terlihat kaku? Aku membawa
papan yang cukup besar, hanya ini cara yang bisa aku lakukan. Di Jalan yang
cukup ramai oleh mobil-mobil, aku berhenti. Aku menyeberang, hingga aku berada
di tengah jalan raya. Aku menarik nafas, semoga ini berhasil. Aku akan
melakukan apapun demi isteriku. Lalu aku menaikkan papanku. Papan yang
bertuliskan.
‘DIJUAL
:
ORGAN
TUBUH (RP 34JUTA u/ satu organ)
Hari
yang mulai gelap, perut yang lapar tak membuatku berhenti berdiri meski
sesekali aku menurunkan papanku, pegal rasanya tangan ini tak terasa sama
sekali, sepertinya saraf-sarafku mati, hanya hatiku yang terus hidup, dan
membuatku terus bertahan, mungkin sedikit lagi.., yaaa sedikit lagi. Sambil
sesekali menyeka airmata yang keluar dari mata ini, aku terus mengangkat
tinggi-tinggi papan ini. Mobil-mobil hanya lalu-lalang tak menggubrisku. Sampai
akhirnya, aku tak tahan dengan perutku yang terus menerus berbunyi dan aku
memutuskan untuk ke warung terdekat dan membeli sebuah roti. Aku duduk di
warung, dan papan ku letakkan di depanku. Aku menghabiskan roti itu dengan
cepat, dan membeli sebuah aqua gelas. Aku terlalu lemah Ayu, aku lemah! Baru berdiri
sebentar saja aku sudah pergi ke warung untuk makan. Aku ini suami macam apa!
Aku harus kembali kesana, aku akan dapatkan uang itu AYu, aku janji! Aku
membayar roti yang haraganya Rp 2000 itu dan aqua gelas Rp 500 itu dengan sisa
uang receh yang ada di kantongku. Aku berdiri dan bermaksud beranjak sampai
tiba-tiba ada seseorang turun dari mobil dan mencegahku. Dia sepertinya tertarik
pada sesuatu yang ada padaku, tapi memangnya aku punya apa? Tunggu, dia melihat
kea rah papanku bukan padaku.
Tari
Aku
sudah pergi ke kantor bekas tempat
kerjaku, tapi hasilnya nol besar. Aku pergi ke rumah Vivi tapi sayangnya dia
sedang tidak ada di rumah, hapenya pun tak bisa dihubungi. Aku menyesal kenapa
aku selalu menolak untuk bersosialisasi.
Aku
mengayuh sepedaku lagi, berusaha datang dari rumah ke rumah yang aku kenal dari
mulai kerabat dekat sampai kerabat jauh. Demi Ibuku, aku rela! Tapi hasilnya
tetap nol. Aku berdoa semoga Ayah sudah mendapatkan jalan keluarnya. Malam
sudah larut sekali dan akumemutuskan untuk kembali ke rumah sakit.
“Tari!”
aku mendengar suara Ayah memanggilku, rautnya tampak senang. Semoga ini berita
baik. J
“Kamu
darimana saja nak?”
“Aku
keliling nyari pinjaman ayah, Mmm.. Tapi..Ng.. aku… “ aku tak sanggup
menyelesaikan kata-kataku dan memeluk Ayah.
“Aku
minta maaf Ayah, aku ga bawa apa-apa. .. Hik..Hiks..” tangisku meluap, Ayah
balas memelukku dan membelai rambutku.
“Gapapa
Tariii. Ayah tadi bertemu dengan teman Ayah dan mendapatkan pinjaman uang.
Besok Ibumu akan segera dioperasi” Aku
melepaskan pelukkanku dan wajahku berubah menjadi berbinar.
“Beneran
Yah?”
“Iya,
Ri. Uang yang 7 juta kemarin, kamu gunain buat bayar kuliah kamu aja yaa. Sekarang kamu lebih baik
pulang, bapak mau menginap disini, lagipula besok kamu harus kuliah.”
Kafka
“Mama
serius orang itu ga akan kabur?”
“Gak
Ka, dia ga akan bisa kabur.”
Aku
diam setengah ragu mendengar jawaban mama itu, tapi mama sudah meninggalkan kamarku. Aku sendirian. Aku
mengambil secarik kertas yang kudapatkan di pantai tadi. Aku membacanya lagi.
Aku teringat teman kecilku. Teman sepuluh hariku, haha. Sepuluh hari. Singkat,
tapi terasa sangat lama untuk aku dan Tari membuat sebuah cerita. Apa ia masih
tak punya teman seperti dulu? Apa ia masih pekerja keras seperti dulu? Dia
mungkin sudah menjadi lebih manis dibandingkan ketika ia kecil yang cengeng,
dan manja.
“Kaa?”
“Hey,
kamu Fik. Kenapa? Kangen yaaa? Hehe”
“Ishh
apaan sii. Aku Cuma ingetin kamu buat tidur, soalnya besok kan kamu harus operasi.”
“Okee.
Makasih yaa diingetin J”
Kutatap
wajah Rafika dan tersenyum, ia membalas senyumku kemudian menutup pintu kamarku
dan meninggalkanku untuk tidur.
Tari
Pagi
ini aku tidak terlambat ke kampus, tapi sepanjang mata kuliah aku hanya
memikirkan satu hal, gimana keadaan Ibu? Ga! Aku harus ke Rumah Sakit.
Sesampai ku di rumah sakit, aku menuju ruang
operasi Ibu, tapi ayah tidak ada disitu. Kemana ayah? Aku gelisah, keringatku
membasahi sekujur tubuhku. Aku merasa hal yang penting telah aku lewatkan atau
justru tak aku perhatikan. Tapi apaaa? Dan dimana ayah? Ibu… semoga operasi ini
berjalan lancar dan Ibu bisa sembuh. Aku putuskan untuk menunggu Ibu operasi di
depan pintu ruang operasi. Duduk
sendirian di bangku. Perlahan kantuk
mulai menyerang.
When
I see your smile
Tears
run down my face.. I can’t replace
And
now that I’m strong I have figure out
How
this world turn cold and it break to my soul and I know
I’ll
find deep inside me
I
can’t be the one
I
wll never let you fall
I
stand up with you forever
I’ll
be there for you through it all
Even
if saving you sends me to heaven
Aku terbangun dari tidurku
ketika seorang dokter membangunkanku.
“Pasien
bernama Ibu Ayu telah melawati masa kritis, tapi ia masih harus istirahat.
Kira-kira dalam waktu 3 hari dia sudah bisa dibawa pulang ke rumah”
“Terima
kasih Dok. Saya boleh melihat keadaan Ibu saya?”
“Silahkan,
tapi jangan sampai mengganggu pasien”
“Iya,
Dok”
Aku
langsung beranjak ke dalam ruang dimana
Ibuku terbaring tak berdaya. Aku menggenggam tangannya dan menciumnya.
“aku
sayang Ibu” kuciumi tangannya lagi
“Ibu
pasti sembuh, sebentar lagi kita bisa pulang dan bersama lagi di rumah”
Aku
akhiri kegiatanku mencium tangan Ibu dan pergi ke kamar mandi untuk mencuci
mukaku yang lusuh ini. Aku melewati ruang operasi yang lain dan seseorang sedang dikeluarkan dari ruang itu
oleh para dokter, langkahku terhalang oleh mereka. Aku penasaran orang ini
habis operasi apa sih? Aku bermaksud ingin bertanya pada dokter, tapi
sepertinya mereka tidak akan menggubrisku. Aku membiarkan mereka lewat sambil
memperhatikan mereka, termasuk pasien itu. Tapi.. sepertinyaa… AYAH!
Aku
menutupi wajahku dengan tangan dan tak
bisa bergerak, sementara dokter terus membawa ayahku entah kemana. Aku berusaha
menguatkan diriku dan mengejar dokter-dokter itu.
“Ayahhhh!
“ aku berlari, menangis, setengah teriak
“Ayaaaahhh!”
Akhirnya
aku berhasil menggapai Ayah. Aku jatuh berlutut dan memegangi tangan ayah.
“Dok,
ayah saya kenapa?”
“ayah
anda habis operasi ginjal. Dia menyumbangkan ginjalnya untuk seseorang”
“apaa?
“ aku tak tau apa yang harus aku katakana. Ibu.. Ayah.. semuaa… Hik..Hik
“maaf
Dik. Ayah anda harus istirahat sampai ia pulih, dan kami bermaksud
memindahkannya ke ruangan lain”
Aku
berdiri dan membiarkan dokter-dokter itu membawa ayahku. Aku remuk.
Kafka
”Aku
akan datang kembali, kita akan bertemu lagi, Ri” tapi Riri diam dan semakin
lama semakin jauh, jauh dan jauhh. Tiba-tiba muncul cahaya terang, begitu
terang sampai aku menutupi mataku dengan tangan, tapi cahaya itu begitu terang.
Précis seperti cahaya waktu aku mulai sdar dari pingsan di Anyer. Tiba-tiba aku
merasa hangat, lalu aku kembali ke dunia nyata.
“Sayang,
kamu gapapa kan nak?”
Aku
hanya menggelenggkan kepala. Aku menatap sekeliling, masih ruang yang sama
seperti tadi, masih di tempat yang sama, Rumah Sakit. Kepalaku masih pusing.
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu.
“siapa?”
Orang
asing itu membuka pintu. Sosoknya menghadirkan Tanya, kenapa aku merasa seperti
sangat lega melihatnya? Seperti sebuah janji yang terlunasi. Siap dia? Sayang
aku nterlalu lemas untuk berbicara dan menegaskan sosoknya.
“saya
Tari, Bu. Anak dari orang yang mentransplantasi organ kepada anak Ibu.”
Mama
langsung berdiri dan menghampirinya.
“Oh,
ada apa? Bagaimana keadaan Ayah kamu?”
“Sedang
dibawa dokter ke ruangan lain Bu. Saya mengucapkan terima kasih karena sudah
membantu membiayai operasi Ibu saya, saya tidak tahu kalau ayah saya melakukan
cara ini untuk membayar biaya operasi Ibu saya. Sayaaa…Hik… permisi”
Aneh,
benar-benar aneh, dia bilang terima kasih tapi matanya seolah berkata ‘kenapa
kalian ambil ginjal ayahku?’, aku jadi merasa bersalah. Sepertinya wajahnya tak
asing. Ah, mungkin mataku ini saja yang salah menerka, terlebih aku baru
selesai operasi.
Tari
“Tari?”
“Ayah?”
Tari langsung menghampiri Ayahnya yang terbaring lemas dan menangis di depannya
“Ayah kenapa
begini sii? Mendingan Tari ajaa yang gantiin Ayah”
“Ssst.
Kamu ngomong apa si, RI? Ayah sayang kamu, sayang Ibumu. Apapun akan ayah
lakukan. Yang penting kamu bisa mengejar cita dan Ibumu bisa sehat ayah sudah
senang.” Tari hanya terdiam
“Bagaimana
dengan Ibumu?”
“Ibu
sudah melewati masa operasi, tapi dia belum sadar. Dsa dokter bilang dalam
waktu tiga hari, Ibu sudah dibawa pulang “
“Yasudah,
lebih baik kamu kunjungi Ibumu, Ri. Ayah tak apa-apa”
Aku
mengangguk dan segera menuju ruangan Ibu. Aku membuka pintu dengan perlahan
agar tidak mengangetkan Ibu. Aku lega mendapati Ibu sudah sadar meskipunn ia
masih terbaring lemas di tempat tidur.
“Tari”
ia tersenyum lewat bibirnya yang tipis.
“Iya,
Bu” aku mendekati Ibu dan duduk di kursi yang ada disamping tempat tidurnya.
“Maafkan
ibu sudah menyusahkanmu dan ayahmu” ia berkata pelan, sambil menahan isak.
“Aku
tidak pernah merasa disusahkan oleh Ibu”
“Ibuu..”
belum sempat Ibu menerusakan perkataaannya, Aku menutup mulutnya dan memeluknya.
“Aku
sayang Ibu” tangis kami pun meledak.
Seminggu
kemudian di kampus……
“Hey
Tar!”
“Hey,
Vi. Muka lu kayaknya cerah banget. Ada apa nih?”
“Kita
liburan semester ke pantai Tar! Lu suka pantai kan? Lu harus ikut pokoknya!”
“Yah,
ga deh Vi. Gua ga ada uang. Baru aja uangnya ludes buat bayar tagihan
persemester gua.”
“Payehh
luu. Mmmmm.. Eh gini aja, lu gua bayarin, tapi lu harus ikut ya Tar? Ya ya
yaya? Ayolah Tarrrr?”
Melihat
Vivi merangkulku dan memohon seperti anak kecil, aku jadi tak enak hati.
Sebenarnya aku ingin sekali ikut, tapi bagaimana Ibu?
“tapi
Ibu gua baru keluar dari Rumah Sakit, gua takut dia ntar kenapa-kenapa pas gua
dan ayah ga ada.”
“Yahh,
Tar. Kan perginya pas liburan semester, Ibu lu pasti udah membaik “
“Mmmm,
Nanti gua Tanya Ayah gua deh, sekiranya dia ngebolehin gua, gua bakal ikut.
Oke?”
“Bener
yaa? Oke deh gua bayarin lu dulu ke
Toing”
“loh
kan gua belum pasti, Vi?”
“Iya
gapapa biar gua ga ribet kalo nantinya lu jdai ikut, kali lu gajadi yaa tinggal
mihnta balikin”
“Makasih
yaa, Vii”
“Elaah,
ama temen aja masih kaku aja lu ah!”
Kafka
Seminggu kemudian….
Pagi
ini aku merasa lebih baik, aku keluar rumah dan lari pagi. Udaranya mungkin
dingin, tapi pemandangan pagi seolah seperti Bumi yang baru jadi, penuh dengan
gerakan-gerakan embun yang hendak menetes dari daun-daun yang sudah tak mampu
menahannya. Aku berhenti sebentar ketika
melihat seseorang yang sepertinya ku kenal. Pak Faisal. Dia membawa termos yang
sepertinya berisi air panas dan mengeluarkan serentetan kopi sachet dari tasnya.
“Pak
Faisal?”
“Eh
nak Kafka? Bagaimana kabarnya?”
“Membaik
Pak, Bapak sendiri? Bapak dagang kopi?”
“Bapak
sehat nak, Alhamdulillah. Iya nak, abis Bapak juga bingung mau kerja sudah
tua ga ada yang meu terima, jadi yaa
Bapak jualan Kopi aja. “
Aku
hanya diam dan memandang jajaran kopi yang Pak Faisal jual.
“Dulu
Bapak kerja jadi sopir taxi, tapi waktu
itu Bapak dipecat karena setorannya kurang. Yah, namany juga penumpang kadang
banyak kadang dikit”
“Oh
iya? Mmm Pak aku mau satu yaa kopinya, yang ini.”
“Oh
iya nak sebentar yaa”
“Bapak
bisa ngendarain mobil dong?”
“Bisa
nak, ada apa memangnya? Ga mungkin dong nak Kafka ga bisa? Hahahaha”
“Ah
Bapak, masa iya ga bisa kalo saya tiap hari bawa mobil, haha. Ng.. gimana kalo
Bapak jadi sopir saya ajaa?”
“Hah?
Sopir nak Kafka?”
“Iya,
saya beri gaji 3,5 juta perbulan? Yahh, itu juga kalo Bapak mau”
“3,5
Pak? Wah, ga terlalu besar tuh Pak buat orang kecil seperti saya? “
“Gak
kok Pak. Okee, besok saya akan kembali kesini untuk konfirmasi dari bapak”
Tari
Yaah,
oke lagi-lagi aku harus mengayuh sepeda yang kata orang si butut, tapi ini
sepeda kesayanganku. Aku menuju suatu rental komputer yang murah. Agak jauh si
emang dari rumah, yang penting murah dan tugasku selesai dengan baik. Di rental
itu aku biasa begadang, bolak-balik untuk ngerjain tugas, mulai dari tugas SMP,
ampe tugas kuliah. Yah, namanya juga cita-cita! jadi aku harus berjuang lebih
keras dari mereka yang memiliki fasilitas, yaa gapapalah, hasilnya juga belum
tentu mereka yang lebih begus kok. Aku pasti bisa!
Aku
sibuk menyelesaikan tugas skripsi. Dari
dulu ampe sekarang aku ga pernah merubah mimpiku. Aku pengen ngerancang sebuah
gedung. Aku jadi senyum sendiri membayangkan gedung indahku kelak akan ada di
Ibukota, kota yang menjadi saksiku merintis cita-cita.
“Neng,
rentalnya udah mau tutup, udah jam 10
neng”
“Yah
Bang… ini skripsi saya tanggung banget, Bang,”
“Ya
tapi udah waktunya ditutup, Neng”
Aku
hanya menghembuskan nafas yang terasa berat setelah mendengar kata terakhir
dari Babang rental itu. Aku merogoh saku celanaku dan. O o! aku lupa bawa
flashdisk, Oh My God, gimana nih?
“Ngapa
neng? Lupa bawa duit? Udah besok aja balik lagi , Neng udah langganan sini juga
kan”
“Bukan
Bang, masalahnya saya lupa bawa Flashdisk”
“Yaah
Neng Abang ga ngerti lagi ma yang begituan, yang punya nih rental baru sembuh
dari sakit, dan dia kesini kalo pagi doing. Kalo ada dia mah, pasti punya, Neng”
Aku
tidak menjawab lagi, aku bingung dan akhirnya aku ga punya pilihan lain
selain ngesave skripsi yang udah aku
kerjain di komputer itu, berharap semoga tak terjadi apa-apa besok padanya.
Bismillah.
Aku
mengayuh sepedaku lagi untuk pulang ke rumah, tak peduli kakiku bosan mengayuh,
atau lelah mengayuh, kalau tidak kukayuh bagaimana aku sampai? Begitu juga
cita-citaku, sama dengan mengayuh
sepedaku ini.
Sesampai
di rumah, aku langsung masuk kamar, shalat Isya dan berdoa semoga besok akan ada
sebuah keajaiban yang memudahkanku. Yaaaa, benar. Keajaiban.
Tok
Tok Tok
“Tarii?
Kamu sudah tidur nak?”
“Belum
Ibu.. masuk ajaa. Ga dikunci kok” aku merapikan mukenaku.
Ibu
masuk dan duduk di tempat tidurku
“Besok
Ayah akan bekerja menjadi sopir”
“Ayah
dapat kerja lagi, Bu? Bagus dong? Tari ikut senang J”
“Dia
bekerja menjadi sopir orang yang membeli ginjalnya, Ri. Gapapa kan?”
Jujur,
aku agak sesak mendengarnya, tapi yaa apa boleh buat, selagi halal aku tidak
boleh melarang Ayah.
“Gapapa,
Bu Tari setuju. Eh iya, Bu Tari liburan semester mau ke pantai Anyer, si Vivi
maksa gitu deh biar Tari ikut, ampe ada acara ngebayarin Tari Bu, Tari jadi ga
enak, Tari ikut yaa Bu, boleh yaaa? “
Ibu
mengangguk, aku senangh sekali J
Kafka
“Pagi Pak Faisal?”
“Oh,
pagi nak Kafka”
“Pak,
bagaimana tawaran saya yang kemarin?”
“Oh
yang menjadi sopir Bapak yaaa? Saya sudah meminta izin apada isteri dan anak
saya dan mereka membolehkan saya.”
“Jadi,
Bapak bersedia nih?”
“Iya
pak.”
“Okee,
besok jam 9 pagi saya harus pergi ke Rumah sakit untuk bekerja, jadi Bapak harus ada dirumah
saya sebelum jam 9. Bapak boleh kembali ke rumah saya setelah mengantar saya,
dan saya akan minta Bapak untuk menjemput saya sekitar jam 8 malam. Saya tidak
suka terlambat Pak. Dan ini kartu nama saya, ada alamat dan nomer telepon saya.
Mmm saya boleh minta nomer telepon Bapak? Biar kalo ada perubahan gampang ngabarinnya”
“Oh,
gimana yaa nak Kafka. Saya ga punya HP”
“Kalau
begitu saya susah nanti. Ng… gini aja, besok saya akan berikan Bapak sebuah HP,
tapi besok Bapak harus datang sebelum jam 9, Oke?”
“Oke
Nak. Mau kopinya nak?”
“Oh,
gausah Pak saya harus ke sebuah tempat lagi. Sampai ketemu besok Pak”
Aku
berjalan menyusuri jalanan yang perlahan semakin penuh hiruk pikuk manusia, aku
berhenti di sebuah tempat sederhana, tempat bisnis kecil-kecilan,untungnya pun
kecil, tapi yang kucari dari bisnis ini bukan keuntungan tapi memberikan kemudahan
kepada orang-orang yang ga punya komputer di rumah untuk mengerjakan tugas
dengan haraga yang sangat murah. Aku
masuk dan mengecek semua barang yang ada didalamnya, sampai tiba-tiba ada
seorang perempuan yang datang. Dia berambut tebal, hitam dan lurus, dikuncir
satu, menggunakan kaos oblong yang gombrong dan celana jeans, poninya disepit
kebelakang. First sight, dia manis. Eit, apa iya ini first sight? Kayak pernah
liat deh? Dia langsung menduduki sebuah kursi di depan computer yang sudah
selesai aku cek, dan terlihat lemas ketika melihat desktop. Aku mendekatinya,
dia tampak memucat, kecewa dan entahlah sebenarnya reaksi apa itu yang jelas
bukan reaksi baik.
“Ada
yang bisa saya bantu, Mbak?”
Dia
masih diam.
“Mbak?”
“Ah?
Oh ng… saya mencari sebuah data penting untuk saya bawa, kemarin karena saya tidak membawa flashdisk
saya menyimpannya di desktop komputer ini, tapi sekarang.. . huah, entahlah”
Dengan
lesu dia keluar, seolah harapan dia musnah seketika setelah mengetahui data itu
tidak ada.
“Sebentar
Mbak!”
Dia
menengok ke arahku, dan meuungguku beberapa saat setelah aku membawakan sebuah
flashdisk.
“Tadi
saya mengecek semua komputer, semua data yang ada di desktop dan segala macam
saya simpan disini.”
Dia
tersenyum memlihat flashdiskku dan langsung mengambilnya dari tanganku,
kemudian pergi. Aneh, tapi.. Senyumnya manis. J
“Oke,
terimakasih yaaa”
Dia
langsung pergi meninggalkanku yang masih kagum dengan senyuman ituu, senyuman
yang mengingatkanku pada 10 tahun yang lalu. Di pantai Anyer. Sebotol impian.
Tari
“Nyaris
aja telat, fiuh”
“Lu
kemana dulu sii emangnya Tar?”
“Gua
ke rental dan nyari tugas skripsi gua, kemaren gua lupa bawa flashdisk jadi gua
save aja di desktop ehh td ada trouble dikit gitu dehh, berdoa ajaa semoga
skripsi gua ada disini”
“Lah itu flashdisk siapa Tar?”
“Flashdisknya
Babang ren… Astaga! Gua lupa ini punya dia Vi. Gua saking senengnya pas dia
bilang data gua ada disini, gua langsung ambil FD ini trus kabur kesini. Aduuuhhh,
ntar gua kesana deh balikin FD dia ini.
Eh gua pinjem Leptop lu yaa bentar, bawa kan?”
“Bawa
kok, tuh di tas, ambil aja”
Aku
menghentikan kepanikanku dan mencoba mengecek data yang ada di flashdisk itu.
Ada banyak sekali data, sampai akhirnya aku menemukan dataku, fiuh untung ada.
Aku lega.
“Eh
Ri, lu jadi ikut ke Anyer kan?”
“Jadi
kok, gua udah bilang ma Ibu gua.”
“Trus
boleh? Bokap lu ngebolehin juga ga?”
“Kalo
nyokap setuju, bokap juga setuju pasti, semalem bokap gua lg tidur soalnya. Eh
emang berangkatnya kapan dah?”
“Minggu
depan Tar, setelah kita selesai ujian semester”
Aku
hanya mengangguk dan meneruskan skripsiku dengan menggunakan leptop Vivi,
sementara orangnya lagi asyik ngobrol sama pacar barunya, siapa lagi kalo bukan
mahasiswa baru itu, Restu.
Setelah
jam kuliah selesai aku mengembalikan FD babang rental itu, aku mengayuh lagi
sepedaku ke rental itu. Tapi ketika ku masuk tak ada orang yang berkulit putih,
tinggi dan berwajah tampan itu, aku hanya menemukan Babang yang biasa menjaga rental, lalu aku
menitipkannya kepada dia.
TUK
FD itu
jatuh, gantungan liontinnya terbuka, tetapi isinya bukan foto tapi tulisan,
sebuah nama. Kafka. Aku sempat bengong setelah membaca nama itu, mengingatkanku
pada seseorang, tapi Kafka teman kecilku tidak berada di Indonesia, dia mungkin
masih di Amerika untuk menyelesaikan kuliahnya.
Dua tahun lagi Ka. Kita pasti bertemu!
Faisal
“Bu..,
Ayah berangkat dulu ya Bu.”
“Loh
mau kemana yah?”
“Bapak
kan sudah diterima bekerja menjadi sopir di rumah orang yang Bapak beri ginjal
itu loh Bu.”
“Oh
iyaa, Ibu lupa . Mmmm tapi Yah, memangnya
ayah bisa bawa mobilnya? Pasti mobilnya mahal loh Yah.”
“tenang
Bu, dulu sebelum bawa truk container Bapak pernah les mobil, berhubung waktu
muda Bapak punya teman yang membuka les menyetir”
“Ooh,
syukur deh Pak. Kalo gitu berangkat sana, nanti terlambat”
“Assalamualaikum”
“waalaikumussalam”
Aku
mengendarai motor bututku menuju alamat yang diberikan nak Kafka kemarin, terbayang lagi impianku yang sejak dulu belum
terkabul, pergi haji. Aku membayangkan jika aku terus menabung, lebih-lebih
sekarang gajinya lebih besar daripada penghasilan berjualan kopi keliling. Aku
sangat mendambakan rumah-Mu, pergi menuju rumah-Mu, bersama isteriku tercinta
tentunya.
“selamat
pagi Pak satpam, saya Pak Faisal yang sudah diterima menjadi sopir dari nak
Kafka”
Satapam
itu tak kunjung membukakan pintu untukku, melainkan memandangku dengan
pandangan menyelidik, dari atas ke bawah
“kamu
bener Pak Faisal?”
“iya
Pak, memang ada apa dengan saya sehingga Bapak seolah mencurigai saya?”
“Jaman
sekarang banyak penipuan Pak, kalo ni rumah ampe kecolongan saya yang kena.
Mmmm begini saja, biar saya periksa KTP Bapak. Mana KTP nya?”
Aku merogoh sakuku dan mengambil KTP, SIM,
STNK, dan semuanya kuberikan kepada Pak
satpam itu, setelah membaca dan berkali-kali menyamakan foto dengan wajahku,
dia membukakan aku pintu. Bersamaan dengan aku meletakkan motorku di tempat
yang aku perkirakan boleh untuk tempat singgah sementara motor bututku ini, nak
Kafka keluar dari pintu rumah.
“Pak
Faisal tepat waktu. Saya baru saja selesai bersiap-siap”
Dia
berjalan mendekatiku dan memberiku kunci mobil
“Ini
kuncinya, dan mobilnya yang berwarna Biru itu”
Mobilnya
bagus sekali, berwarna biru dengan hiasan-hiasan klasik berwarna hitam yang entah disebutnya
apa, merk nya Honda Jazz, disebelahnya ada mobil yang terlihat mewah, alpart.,
lalu disebelahnyaaaa…
“pak!
Kalo parkir liat-liat dong! Ini kan
kebun, aduuuh bisa diomelin Nyonya ini saya”
Kata
Pak Satpam yang tadi menginterogasiku.
“Pak
Faisal!”
Aku
menengok ke arah suara itu berasal, nak
Kafka terlihat mengernyitkan kening dari jauh, mungkin karena saya lama
mengambil mobilnya.
“Maaf
Pak Satpam, tapi saya harus segera mengantar nak Kafka, bagaimana jika Bapak
yang memindahkan motor saya? Ini kuncinya”
Belum
mendengar jawaban dari Pak Satpam, aku bergegas masuk ke dalam mobil, menyalakannya,
dan mengendarainya menuju depan pintu rumah. Kemudian aku keluar mobil dan
membukakan pintu untuk nak Kafka. Kami menuju sebuah Rumah Sakit yang agak jauh
dari Rumah nak Kafka di Ps. Minggu. Bicara tentang rumahnya nak Kafkaaaaa,
rumahnya sangat bagus. Ada ukiran ukiran di pilar-pilarnyn, rumahnya bertingkat
sampai lantai dua, dinding luarnya bercat warna putih dan tidak terlihat ada
noda pun seperti rumah keluargaku, yang dinding putihnya sudah tidak bisa
dibilang putih lagi, kuning mungkin, haha ada-ada saj aku membandingkan rumah
nak Kafka dengan rumahku. Tapi, aku berharap kelak keluarga kecilku akan
mempunyai rumah yg seindah itu. Harapanku hanya satu, Tari.
Tari
“Ri,
Vivi belum dateng kok tumben yaa?”
“Masa
sih? Gua kira dia lagi di kamar mandi
atau di kantin gitu”
“Iya
sih, mungkin jugaaa”
“Eh,
tapi ini kan udah mau mulai kuliahnya dan kita lagi ujian semester
tumben-tumbenan dia telat”
“Daritadi
gua telpon juga ga diangkat”
“Hey sayang, hey Tar. Ngomongin gua yaaa?” tau-tau si Vivi sudah ada diantara kami.
“Lu
tuh kemana aja sih baru dateng gini hari, Vi? “
“Gua
abis….uwek”
Vivi
langsung pergi entah kemana, dan aku
langsung bergegas mengejarnya. Dia berlari sangat kencang dan menubruk beberapa
orang tanpa meminta maaf dan melanjutkan larinya, entah tempat apa yang
ditujunya, aku terus mengejarnya, sampai akhirnya ia masuk ke dalam kamar mandi
wanita.
“Vi lu
kenapa?”
“Gua
gatau nih Tar, semalem gua juga mual gini, mungkin karena gua makan udang kali
yaa semalem, lu tau kan gua alergi udang? gua kira udah mendingan ehh ternyata
belum”
“Aduh
gimana ya Vi, kalo pulang pun sekarang kita kan lagi ujian semester”
“Gapapa
kok Tar, gua Cuma mual”
“Oh
yaudah nanti biar si Restu nganterin lu pulang yaa”
“Haruslah”
“Yaudah
yuuk kita masuk kelas lagi, keburu Pak Sus dateng ntar bisa abis kita”
“Yailah
slow ajaa, lu kan mahasiswi kesayangan Pak Sus”
“Eh
ngomong apa lu barusan”
“Nggak,
nggak ngomong apa-apa”
Vivi
berlari meninggalkan aku yang masih kesal dengan kata “murid kesayangan”, aku
bergegas mengejar Vivi menuju kelas.
BRUUUUKK!
Aku
menabrak Vivi yang ngerem mendadak tepat di depan kelas, aku gak tau apa yang
menyebabkan dia melakukan itu, tapi kemungkinan paling besar penyebabnya adalah
Pak Suswanto. Vivi membalikkan
tubuhnya ke arahku dan aku bisa lihat raut pucat di wajahnya.
“Ssssstt…
Gawaaaaaat”
“Kenapa?
Ada Pak Sus?”
“Bukaann
-_-“
“Terus?”
“Sepatu
gua kena permen karetttt. Huaaaaaa ”
“Astaga
gua kira kenapaaaa-_-. Lebay lu ah! Udah mendingan sedihnya ntar-ntaran ajaaa,
ntar keburu Pak Sus beneran dateng kita diomelin “
Aku
menarik Vivi untuk masuk ke ruang kelas, belum ada Pak SUs sih, yang lain sibuk
dengan urusannya masing-masing.
Sepulang
kuliah aku langsung pulang ke rumah,
masih menggunakan sepeda bututku, melewati jalan yang sama setiap harinya,
huaaah kapan hidup ini akan berubah untukku?. Sesampainya di rumah aku bergegas mandi,aku mandi ga
kayak cewek pada umumnya yang makan waktu banget, 10 menit cukup banget buat
mandi. Setelah mandi aku duduk di kursi belajar yang pastinya pengen belajar, tapi
telponku bergetar . Vivi. Aku langsung mengangkatnya.
“Tarrrrrrrriiiiiiiiiiiiiiiiii!!!”
Tut
tut tut tut tut
Belum
sempat aku berkata sesuatu tapi telpon sudah tertutup, aku merasa ada yang
tidak beres hingga kuurungkan niatku untuk belajar dan pergi ke rumah Vivi.
Rumah
Vivi ada di Jalan Kenanga, yang pastinya perumahan. Dia meiliki rumah paling
besar disana, rumahku dan rumahnya
memang agak sedikit jauh sehingga untuk jalan kesana aku harus mengayuh sepeda
seperapat jam, tapi kali ini aku mengayuh dengan lebih cepat dan lebih cepat
lagi tak peduli betapa kakiku berteriak meminta istirahat.
Ketika
aku sampai, masih dengan nafas yang berburu, aku berhenti sejenak di depan
gerbang rumahnya. Sepi. Itu kesan pertamaku, hanya ada beberapa lampu didalam
rumah yang menyala, apa iya tidak ada orang? Lalu kemana pembantu Vivi? . Aku
bermaksud menekan bel, tapi kuurungkan setelah menemukan gerbangnyanya tidak
terkunci, mungkin si Mbok lupa menguncinya, dasar ceroboh. Rumah Vivi memang
sepi, orangtua Vivi sedang Dinas ke luarkota dan Vivi hanya tinggal berdua
dengan para pembantunya di rumah sebesar ini.
“woooyy!
Siapa lu? Maling lu yaaa?”
Ternyata
ada yang melihatku memasuki rumah Vivi, dan entah mengapa dengan reflek aku
justru lari dan masuk ke dalam rumah Vivi, untung pintunya ga dikunci, itu
sedikit menolong, tapi aku ga mungkin terus larim kan? Aku ga salah kok, tapiii
yang penting Vivi dulu deh. Dimana ya dia?
“Vii?... Viiiii?”
Tidak
ada jawaban, aku masuk ke seluruh bagian
lantai satu, tapi nihil.
KRETEK
Aku
mendengar suara anehh, sepertinya berasal dari dapur. Oh iyaa aku kan belujm
memeriksanya. Percis seperti di film
horror , aku bergidik, lebih-lebih dapur itu gelap. Aku melangkah dan…
“Bibi?”
Aku
menemukan Bibi yang terikat tali, mulut tersumpal dan tidak bisa bergerak. Aku
dengan cepat membuka tali Bibi.
“Non
Vivi, Neng, dilantai atas, cepetan Neng!”
Aku tidak
menyelesaikan membuka ikatan tali Bibi, dan langsung bergegas ke lantai
atas, aku menaiki tangga dan langsung menuju ke kamar nya.
“Vivi!”
Aku
menemukannya! Dia dilantai, apa ia pingsan? Aku mendekatinya perlahan-lahan
tapi entah mengapa perasaankuuu….
“Blood?
Oh, God!”
Aku
mempercepat langkahku mejuju tubuh Vivi, mungkin lebih tepatnya mayat Vivi. Aku berlutut, menangis di depan
mayatnya. Ada pisau disana. Aku mngembil pisau itu, mungkin pisau ini lah yang
menjadi saksi pembunuhan Vivi.
“Dasar
pembunuh! Lu harus gua bawa ke kantor polisi untuk diperiksa agar diberikan hukuman yang tegas”
Tiba-tiba
kamar ini sudah penuh dengan orang-orang, salah satu dari mereka adalah yang
menyangkaku maling tadi. Aku ga bisa berkata apa-apa terlebih aku memegang
pisau. Bodoh! Ngapain aku pegang nih pisau. Keringat dingin mengucur membasahi
sekujur tubuhku, aku tak tahu harus bagaimana?. Aku tak bisa berkata-kata
melihat banyak orang semakin memojokkanku dan menuduhku, aku menangis dan
memandangi mayat temanku, tidak! Sahabatku! Satu-satunya! Air mataku mungkin
mengenai pipinya yang sekarang dingin.
“Gua
ga nyangka lu Ri, kenapa ama Vivi Ri?”
“Restu?
Gak, Tu ini ga seperti yang lu..”
POK!
PLAK!
Darah menetes dari bibirku.
Perih. Sakit. Ya Allah! T.T .Rasanya gigiku rontok, darah terasa sangat pahit.
Aku berusaha bangkit.
“Bukan
sayaaa. Bukan sayaaa.. Hikk… Restu! bukan gua Tu bukan gua lu harus percaya!
Vivi nelpon gua dan dia Cuma teriak nama gua, gua berusaha secepat mungkin
kesini tapi semua udah… Hik”
“Alah!
Bullshit! Terus apa yang lu pegang tadi itu? Pisau bohongan?”
Aku
mengangkat kepala bermaksud menjawab, tapi aku tidak menemukan apapun yang
tepat untuk menjadi jawaban, aku juga tak tahu kenapa aku memegang pisau ini,
suatu tindakan bodoh. Aku menunduk lagi
dan hanya bisa menangis untuk menjawab segala tudingan.sesekali aku mengangkat
kepala dan memperhatikan semua orang. Mbok! Mbok bisa menyelamatkanku.
“Mbok!”
Aku
sangat senang melihat Mbok dan berusaha meraihnya, tapi dia menyingkir seperti
orang takut. Mungkin.
“Mbboookkk!
Jelasin ke mereka Mbok, aku ga salah kan Mbok? Aku nolongin Mbok kan tadi?”
Mbok
menggeleng dengan tegas. Aku melepaskan
tanganku yang meraih lengannya. Aku lemas. Semua mulai memakiku lagi.
Aku tak yakin ada kehidupan yang bisa aku nikmati setelah ini. Semua hitam. Aku
pandangi lagi mayat Vivi. Kenapa lu ga bangun aja sih Vi dan jelasin ini semua?
Hikks. Ayahhh, Ibuuuu, akuuuuu…. Hikk.. Hiks…
Kafka
“Sekarang
Bapak boleh pulang”
“Terimakasih
Nak.”
“Oh
iya, Pak. Ini HP yang saya janjikan kepada Bapak tempo hari lalu,”
“Terimakasih
nak, Mmm .. untuk pembayaran HP ini biar gaji saya saja yang dipotong nak
Kafka”
“Tidak
Pak, ini saya berikan secara cuma-cuma kepada Bapak “
“Baiklah
pak, saya sangat berterimakasih. saya
sebaiknya pulang, sudah malam”
“ Oh
oke Pak, besok dijam yang sama yaaa”
“Baik
nak Kafka”
Sementara
Pak Faisal memarkirkan mobil, aku pergi ke dalam rumah dan bergegas istirahat,
tapi belum sampai kamar, di ruang tamu aku melihat banyak sekali orang, mereka
seperti sedang membicarakan sesuatu.
“Nah
ini dia orangnya. Kafkaa, sini nak”
Aku
menghampiri mereka dan aku baru menyadari ada Fika disana, ada orangtuanya
juga.
“Wah,
ada acara apa nih? Kok ga bilang-bilang Kafka dulu sih biar Kafka pulang duluan
tadi?”
“Kita
sedang membicarakn pernikahan kalian.”
“Pernikahan
Ma? Siapa yang pingin nikah Ma? Mama emang pingin nikah lagi? Lah Papa mau
dikemanain? Hehe”
“ Huss
kamu kalo ngomong yaaa. Kita ini sedang membicarakan pernikahan kalian, “
“Kalian?”
“Iyaa,
kamu dan Fika”
“Ah
Mama, aku masih harus menyiapkan uang dan lain-lain Maa.”
“Kamu
kedengerannya ga seneng ya Ka nikah sama aku?”
“Hah?
Kamu ngomong apa sih? Itu tujuan akhir dari hubungan kita kan? Ya jelaslah aku
seneng, Cuma kan pernikahan kita harus special, semua harus dipersiapkan dengan
sebaik-baiknya”
“Rumah
Sakit kamu kan sudah maju Ka, mau tunggu apalagi? Calon ada, uang pasti adalah.
Haha. Ayo Jeng diminum minumannya, fika ayo minum nak, si Kafka emnag gitu, dia
ga pernah sembarangan apa lagi menyangkut hal specialnya, haha”
Aku
melihat Fika yang tersenyum kepadaku dan aku membalas senyumnya. Tunggu apalagi
kata Mama? Aku menunggu Tari Ma, aku ingin melihatnya, berbagi cerita dan
meminta pendapatnya. Tapi setiap kali aku bercerita tentang Tari, mama selalu
memarahiku, berkata itu hanya teman kecil kamu, dia juga paling udah lupa dengan
janji 12 tahun itu. Mungkin Mama benar. Lagi pula, aku memang menyayangi Fika.
Kenapa aku harus sedih? Toh, kalau aku sudah menikah, justru itu akan menjadi
cerita indah lain yang bisa ku bagi dengan
Tari. aku memandangi Fika lagi, ia memang tidak melihat ke arahku, tapi
jantungku berdebar, sangat kencang, aku tersenyum sendiri membayankan
pernikahan kami. Itu akan indah. I have a beautifull story, Tari. I found a
girl that be my wife.
Tari
Aku
mendekam di penjara, dan tak ada yang membelaku, aku meringkuk semalaman,
tidurpun sebisanya. Aku menangis sepanjang malam hingga tertidur dan ketika
bangun hari sudah pagi, aku dibangunkan oleh seorang polisi yang berkata bahwa
ada yang menjengukku. Aku penasaran, mungkinkah Ibu? Atau Ayah? Aku belum siap
Ya Allah, aku belum siap bertemu dengan mereka, aku pasti membuat mereka terbeban. Aku harus bagaimanaa?
Aku
berjalan pelan menuju orang yang mengunjungiku. Ibu dan Ayah. Aku mempercepat
langkahku dan menangis di hadapan Ibu dan Ayah.
“Ibuuuuuuu..
Hiks… itu bukan Tari Buuu, itu bukan Tariiii”
“Ibu
percaya nak, Ibu percaya”
Aku
tidak berkata apa-apa kepada Ibu selain menangis, batinku tak kuasa menceritakan
semuaa, belum lagi aku teringat cita-citaku, ini adalah hari terakhirku untuk
ujian semester, dan aku mungkin tidak bisa mengikutinya.
“Maaf
Bu, jam besuk Ibu sudah habis” seorang polisi tiba-tiba datang dan memisahkan
kami.
“Oh
iya, Pak, terimakasih!”
“Tari,
kamu jaga diri yaa, jangan sampai kamu sakit, ini Ibu bawakan makanan untuk
kamu, ayam goring kesukaan kamu, jangan lupa shalat ya ndok”
Aku
hanya menganggukkan kepala.
Sepulangnya
Ayah dan Ibu, aku masih memikirkan ujian semesterku. Tidak! Aku tidak boleh
begini, aku tidak bersalah, kelak mereka akan mengetahui dan aku tidak bisa
melakukan apa-apa lagi jika aku sudah tidak mengikuti ujian semester. Aku
meminta izin kepada Pak Polisi untuk mengizinkanku berbicara dengan kepala
polisi sebentar, awalnya mereka tidak mau tapi aku terus membujuk dan mereka
akhirnya mengantarkanku ke ruang kepala polisi.
“Permisi
Pak, salah satu tahanan ingin berbicara dengan anda”
“Biarkan
dia masuk”
Aku
masuk ke ruangan kerja Pak Kepala Polisi itu, kemudian aku duduk di bangku yang
ada di depan mejanya.
“Maaf
saya telah lancang untuk meminta berbicara kepada anda, tapi saya ingin meminta
sesuatu Pak”
“Apa? Apa
kamu sudah menemukan bukti bahwa kamu tidak bersalah?“
“Belum,
Pak. Saya ingin mengikuti hari terakhir ujian semester saya pak, tolong. Ini
semester terakhir saya”
“Apa-apaan
kamu, emangnya kamu pikir kamu siapa? Gayus Tambunan? Hah?”
“Sa… “
Belum
sempat aku melanjutkan perkataanku, ada seorang lelaki datang dan memotong
perkataanku.
“Biarkan
dia mengikuti ujiannya Pak!”
Dia
seperti pernah kulihat sebelumnyaa, tapi dimana yaaa?
“Saya
yang akan menjamin, lagipula gadis ini belum benar-benar terbukti
bersalah, seandainya saja dia bukan tersangka yang asli sementara dia tidak
mengikuti ujian semester kali ini, maka cita-citanya hancur sudah. Bagaimana
mungkin Bapak tega menghancurkan cita-cita seorang gadis? Lagipula dia tidak
akan kabur Pak! Bapak cukup memborgol kakinya saat ujian berlangsung”
Polisi
itu tampak berpikir keras kemudian memandangiku dari atas sampai bawah,
berusaha menerka-nerka dapatkah aku dipercaya?
“Baiklah,
kami akan mengutus banyak polisi untuk mengawal”
Aku
tersenyum, setidaknya aku masih bisa mengikuti ujian, entah apa reaksi semua
teman-temanku nanti, aku harus tetap mengejar mimpiku. HARUS!
Karena waktu ujian sudah
hamper dimulai, Polisi itu menyiapkan segalanya dalam waktu yang singkat tapi
tetap penuh kesiagaan dan perhitungan.
Ditengah
perjalanan menuju kampusku, aku masih bingung siapa lelaki yang meolongku itu? Wajahnya
seperti taka sing lagi, aku bahakan merasa pernah mengenalnya.
Ingatanku
melambung di sepuluh menit yang lalu ketika ia memperkenalkan diri.
“Oh
iyaa, saya Kafka. Orang yang telah
diberikan ginjalnya oleh ayahmu. Saya mendengar bahwa Pak Faisal tidak bisa ke
rumah karena kasus kamu, jadi saya langsung mengunjungi kamu, tapi sepertinya
kita pernah bertemu yaaa? Iyaa ga sih?”
“Iyaaa,
aku juga ngerasa, tapi dimana yaaa? Ng…. Nah! Di rental! Kamu yang ngasih aku FD yang
didalamnya ada tugas skripsi aku.”
“Oh iya benar, kamu yang buru-buru pergi itu yaa?
Haha”
“Iyaa
aku minta maaf, tapi aku sudah mengembalikan FD mu ke temanmu yang juga menjaga
rental itu kok”
“Iyaa
aku tahu, aku jarang ke rental itu soalnya, paling Cuma pagi dan ngecek
sebentar trus aku pergi ke..”
“Loh?
Emang kamu ga dimarain Bos kamu?”
“Maaf,
apa? Bos?”
“iyaa,
Bos kamu, yang punya rental itu loohhh”
“Ooh,
sebenarnya aku ini…”
Aku bingung, dia tuh mau
ngomong sebenarnya dia itu siapa yaa? Pak Polisi tiba-tiba dateng pas dia blm
selesai ngomong. Aku penasaran.
“Kita sudah sampai!”
Aku
keluar dari pintu mobil polisi, dan okee aku udah tau kalau ini akan terjadi,
semua orang di kampusku mencibirku, anehnya tetap saja terasa sakit, padahal
aku sudah mempersiapkan diri untuk saat ini. Aku dalam keadaan tangan masih
diborgol dan dalam penjagaan ketat diantar menuju kelas untuk mengikuti ujian
semesater. Yap, reaksi kelasa lebih-lebih membuat hatiku teriris, aku menyeesal
kenapa aku tidak bergaul dengan mereka, jika saja aku bergaul dengan baik oleh
mereka sebagian dari mereka pasti ada yang membelaku dan yakin bahwa aku tidak
mungkin melakukannya, tapi sepertinya semua mata yang ada di kelas ini tajam
sekali. Aku mendekati sebuah kursi kosong di kelas, tetapi semua orang yang
duduk disamping, dibelakang dan di depanku menghindariku.
“Ga ada yang mau duduk deket sama pembunuh”
Sakitnya
hatiku setelah tahu sumber suara itu adalah Restu, dia harusnya percaya padaku.
Mungkin dia hanya terpukul melihat Vivi sehingga dia bertingkah seperti itu
padaku, bahkan bekas tinjunya masih terasa ngilu, dan aku yakin wajahku
berbentuk tidak karuan. Jika bukan
karena cita-citaku aku akan menyerah sampai disini.
“Eh lu
kalo mau ikut Ujian diluar aja dehh, ganggu tau ga sih ada banyak polisi, semua
yang ada disini jadi keganggu konsentrasinya!”
Entah
itu suara siapa, yangjelas benar apa yang dikatakannya, aku tidak boleh
menghalangi mimpi orang lain, akhirnya aku beranjak dan meminta tolong kepada
Bapak Polisi agar membawakan mejaku ke luar kelas. Setidaknya di luar kelas
hening, tidak aka nada suara rebut meminta contekan, dan Pak Polisi juga cukup mengerti untuk diam
sejenak.
Aku mengikuti ujian terakhir
ini dengan setekun-tekunnya, aku tidak boleh gagal. Sebenarnya aku ingin
mengerjakan ujian di penjara ajaa, tapi ternyata ga bisa kalo dadakan gini, ya
aku kan masuk penjaranya dadakan
katanya-_-, ga ada yang bisa ngantar soal dan menjaga biar aku ga
nyontek. Siapa juga yang mau masuk penjara direncanakan? -_- aneh dasar.
Okee, seperti perjanjian, selesai mengikuti hari
ujian terakhirku aku kembali ke penjara. Kedua tanganku kembali diborgol dan
aku berjalan menuju mobil Pak Polisi.
“Hey, kok bengong?”
Aku kaget, sosok didepanku ini,
Kafka yang tadi membantuku untuk mengikuti ujian ini.
“Hah? Loh, kok kamu ada
disini?”
“Aku Cuma ngecek aja apa kamu
benar-benar diberi kesempatan untuk ujian apa enggak! Eh gimana ujiannya?”
“Alhamdulillah bisa, ya emang sig a bisa semaksimal biasanya,
kan semalem ga belajar juga hehe”
“Berarti bener kata Ayah kamu yaaa, kamu itu
pintar!”
“Maaf Pak, kami harus segera
membawa gadis ini kembali ke kantor Polisi”
Aku sedikit diseret untuk
kembali berjalan menuju mobil. Aku menatap Kafka lagi dan melontarkan senyum
sam bil berteriak
“Terimakasih!”
Dia
hanya membalas senyumku dan menganggukan kepala. Udah ganteng, tinggi, putih,
pinter, dokter, kaya, baik lagi. Aduh dia senyum lagi, My God. Aku membalas
senyumnya.
Beberapa hari kemudian….
Aku
masih mendekam di penjara dan aku mulai resah kenapa si tersangka asli tidak
kunjung datang, sementara sekarang sudah waktunya aku disidang. Aku dikeluarkan
dari penjara dan dibawa ke ruang siding, aku duduk di kursi tepat didepan
Hakim. Sendirian. Aku rasanya ingin kembali ke penjara saja dibanding harus ke
meja hijau ini. Aku takut, aku resah, akuu…
“Tunggu!”
Semua
orang dalam ruangan mengalihkan pandangan kea rah sumber suara itu berasal. Tiba-tiba
seorang polisi membawa seorang lelaki dan ditariknya ke meja sidang. Restu.
“Kami menemukan tersangka yang
asli Pak, ini dia!”
“Bukti-bukti sudah sangat jelas Pak, bahkan
pembantu di rumah korban telah mengaku dia diancam untuk memberikan kesaksian
palsu agar nyawanya selamat, sehingga menyebabkan gadis yang sekarang duduk di
bangku tersangka itu mendekam di penjara. Tersangka diduga kuat membunuh,
terlebih karena ternyata setelah diselidiki korban sedang dalam keadaan hamil
ketika kejadian terjadi. Tersangka yang tidak mau bertanggungjawab dan takut
ketahuan langsung bergegas menghajar korban. Sang pembantu yang bermaksud
membela juga ikut dihajar dan justru diikat serta disumpal mulutnya. Korban
berlari ke lantai atas selagi tersangka mengikat pembantunya dan menelpon
Saudari Tari untuk meminta bantuan, tapi saudari Tari terlambat datang. Begitu kiranya Pak.”
Aku kaget, lega, kecewa dan…
gelap.
Sahabat
sejatiku hilangkan dari ingatanku
Di
hari kita saling berbagi
Dengan
kotak sejuta mimpi
Aku
datang menghampirimu….
Apa ini? Terlalu terang,
tidak! Apa ini? AAAAAAAAAAAAaaaaaa.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!”
Aku
terbangun. Hal pertama yang aku cerna adalah aku berada di rumah. Apa itu semua
mimpi? Penjara itu? Restu? Vivi? Kafka? Aku berusaha menelpon Vivi sampai Ibu dan Ayah masuk dan mendekapku. Mereka
menangis. Aku masih tak mengerti, apa itu semua mimpi? Semoga ini hanya mimpi,
mulutku masih berat untuk berbicara, kejadian itu benar-benar membuat tenagaku
tersedot habis, dan menggerogoti hati. Aku melihat ada seorang pria lagi yang
masuk. Kafka. Oh God! Apa itu bukan mimpi?
“Syukurlah nak akhirnya
terbukti itu semua bukan salahmu.”
Ibu
berkata sambil menahan isaknya, dan aku mulai sadar itu semua bukan mimpi. Aku
kehilangan Vivi? Bukan mimpi! Aku berusaha membuka mulutku yang masih berat
untuk terbuka, perihnya luka yang diberikan Restu pun masih terasa.
“Seandainya aja Tari datang
lebih cepat Buu, mungkin Vivi masih ada”
Selesai
mengatakan itu, airmataku jatuh. Ini bukan masalah berapa banyak airmata yang
telah kujatuhkan untuk Vivi, tapi beratnya beban dihatiku dan aku harus
mengeluarkannya.
“Ini semua bukan salah kamu
sayaang, kamu melakukan yang terbaik untuknya. Ibu bangga”
Ibu
kembali memelukku, aku arahkan pandanganku ke arah Kafka, dia tersenyum. Dia
sangat baik, sewaktu aku dipenjara, dia setiap hari datang dan memberi semangat
kepadaku. Aku merasa bersemangat setelah mendengarnya menguatkanku, apaa aku
jatuh cinta? Haha ngomong apa aku ini, baru keluar dari penjara langsung
ngawur. Ini bukan saatnya aku memikirkan cintaa smentaraa hatiku sakit karena
sahabatku pergi dan tak akan kembali lagi.
Rasanya hatiku seperti kertas yang terbakar. Remuk. Abunya entah kemana.
“Teman-teman kamu di depan Tar, kamu mau menemui mereka
atau beristirahat lagi?”
“Aku belum siap Bu, aku mau
istirahat saja”
Semua orang pun pergi
meninggalkan kamarku dan aku pun tidur.
Aku
bangun jam 5 sore, aku pergi keruang tengah
dan tidak mendapati seorang pun disana.
Aku hendak pergi ke dapur sebelum menemukan sebuah undangan, sepertinya undangan pernikahan, tapi yang
menarik perhatianku adalah covernya bergambar botol yang tengah mengambang di bibir pantai, botol berisi kertas. Aku
mengambilnya dan membacanya. Ternyata benar, ini undangan pernikahan. Aku buka
surat undangan itu.
Muhammad Kafka Ramadhan
Dan
Rafika Zahratunnisa
Kafka?
Lusa mereka akan menikah? Perasaan apa
ini? Udarapun seperti terlalu berat ntuk ku hirup, aku ga boleh jatuh cinta
dengan Kafka yang ini, dia bukan Kafka teman kecilku, teman kecilku masih
berada di luar negeri. Kafka yang ini
sudah memilki pasangan, dan akan menikah lusa, sementara lusa aku akan pergi ke pantai Anyer bersama teman-teman
kampus, yaaaah meskipun ga ada Vivi, tapi dia ingin sekali aku mengikuti
kegiatan itu. Padahal kegiaatannya juga paling cuma makan jagung bakar ,
nyanyi-nyanyi ga jelas, gapapalah sekali-kali. Sekali lagi kubaca nama yang
tertulis di undangan itu, Apa aku benar jatuh hati? Masa iya segampang itu aku
jatuh cinta pada oranglain? Aku melipat kembali undangan itu dan meletakkannya
kembali diatas meja ruang tengah. Aku pergi ke dapur, makan yang banyak sebagai
pelampiasan semua hal yang terjadi. Tapi makanan hanya masuk dan terasa seperti
sekam dimulutku, hatiku seperti terbanting, pecahannya seolah jatuh satu
persatu. Aku ini kenapa?
Kafka
Apa Tari sudah membaik?
Batinnya pasti sakit setelah apa yang telah terjadi. Semangatnya dalam
menggapai mimpi apapun keadaanya mengingatkanku pada teman kecilku. Apa dia
teman kecilku? Teman 10 hariku di Anyer, haha. Tapi meskipun banyak kemiripan
antara Tari teman kecilku dan Tari yang ini, sepertinya mereka orang yang
berbeda. Tari, teman kecilku, lusa aku akan menikah.
Lusa hari….
Aku
sudah siap dengan jas, sepatu, dasi, make up, semuanya deh, aku sudah sangat
siap. Tapi sesiap apapun persiapan aku, aku mengaku bahwa aku gugup. Ini adalah
pernikahan aku dan Fika. Aku sudah duduk di masjid yang cukup luas, didepanku
adalah seorang wali nikah. Aku gugup. Benar-benar gugup. Untuk menghilangkan
kegugupan aku memperhatikan sekitar, masjid ini tidak terlalu luas tapi
terlihat sangat luas, penuh dengan
tulisan Arab di dindingnya. Dilihat dari catnya, masjid ini pasti sering
di cat ulang. Dan….
Tari
Aku
sudah berangkat menuju pantai Anyer dari subuh. Aku dan teman kampusku naik mobil
bus Hiba, berAC, dan nyaman. Aku duduk disamping teman sekampusku yang selama
ini sangat membenciku karena aku tidak mau bergaul, tapi setelah dia tahu aku
tetap mengikuti acara kampus ini walaupun tanpa Vivi dia kembali respect
kepadaku. Dan okee, aku akui dia asik jugaa, dan lewat perjalanan ini aku jadi
tahu kalau semua teman kelasku sangat ramah dan asik. Aku jadi bertanya-tanya
kenapa aku tidak pernah bergaul seperti ini dulu? Aku terlalu terobsesi dengan
cita-citaku. Tapi aku baru sadar, buku juga kalau kita tidak punya teman
percuma , aku mau minta bantuan kerja dari siapa? Mungkin aja mereka lebih
sukses dariku, aku kan gatau.
Sesampainya
di pantai, kalau orang lain memutuskan untuk merapikan baju terlebih dahulu,
aku memutuskan untuk ke pantai, yaa seperti biasa aku membawa kertas, dan pulpen, tapi aku lupa membawa
botol, ketika aku menulis dan duduk di bibir pantai, sebuah botol
menghampiriku.
“Wah
ini dia yang dicari, ini namanya pucuk dicinta botol pun tiba”
Aku
membuka botol itu, tapi ternyata ada suratnya
Aku tidak bisa menjadi seperti dirimu
Dan dirimu tidak bisa menjadi sepertiku
Tapi ini lah hidup
Kita memiliki jalan yang berbeda untuk
tujuan yang sama
SUKSES
Aku
tersenyum membacanya, aku lipat kertas itu dan aku masukkan ke jeans lusuhku. Aku
menulis sebuah harapan dalam secarik kertas yang aku bawa dan memasukkan kertas
itu ke dalam botol, lalu kututup dan kulemparkan jauh-jauh. Berharap yang
membacanya adalah teman kecilku. 2 tahun lagi!
Dua
tahun kemudian….
Tari
sedang sibuk merancang sebuah rumah, atau tepatnya perkomplekan. Yaah, objeknya
melimpah pada bagian merancang rumah, dan sampai sekarang walaupun sudah 12
tahun dari janji kecil itu, tetapi Tari belum bisa membuat sebuah gedung.
Sebenarnya sih aku sudah merancangnya tapi aku tidak pernah mendapat tawaran
untuk gedung, selalu rumah, rumah, dan rumah. Eit tapi jagan salah biarpun cuma
rumah tapi upah yang diterimanya juga besar. Satu hal tentang kesuksesan, Kita
harus mengejar mimpi kita ga peduli itu tinggi, karena kalaupun gagal, minimal
kita sudah mencapai seperapat, setengah, atau bahkan duapertiganya. Life isn’t
a movie. Hidup tak pernah semulus film-film layar lebar, hidup ini terkadang
terasa sempit padahal luas, dan sebaliknya.
Hari ini
udah tepat 12 tahun….
Tari
“Tari?”
“Kafka..”
Sosok
yang berdiri itu Kafka teman kecilku atau Kafka….
“Kok
kamu ada disini Ka?”
“Kamu
Tari? Tari teman kecil aku kan? Iya kan?”
Aku
tidak menjawab. Aku tidak mau kalau ini adalah nyata, semoga ini mimpi.
“Aku
sudah menjadi Dokter Rid an kamu sudah tau itu kan? Haha lucu yaa, ternyata
kamu ama aku teman kecil. Bagaimana dengan impian kamu? sepertinya kamu belum
bikin gedung?”
Aku
masih tidak bisa berkata, aku hanya tersenyum kecut, sepertinya Kafka menyadari
itu.
“Aku belum melihat satu gedung pun yang bisa
membuatku yakin ini pasti rancangan kamu!”
“hahaha”
Aku membalikkan badanku dan tertawa palsu.
Airmataku
menetes entah mengapa, tapi aku tak bergerak mendekati sosok yang mengaku-aku
Kafka itu. Perlahan Kafka mendekat, tapi belum sempat dia menuju diriku…
“Papa!
Dipanggil mama! Katanya kita udah siap pulang!”
Aku
menghapus airmataku dan kembali menatap kea rah Kafka. Tiba-tiba muncul seorang
wanita cantik, dan aku yakin ini pasti Rafika, aku menjabat tangannya.
“Ka,
kayaknya aku harus pulang juga, udah sore, kalo ada perlu sms ajaa bisa kan? Ga
usah pake ke Anyer segala lagi kayak
gini, haha”
Aku
berusaha melucu, dan sepertinya itu tidak terlalu buruk. Kami saling
berpamitan, tapi Kafka dan keluarga kecilnya yang terlebih dahulu meninggalkan
pantai ini, meninggalkan aku tepatnya. Aku membalikkan badan dan kembali
menatap pantai.
“apa yang kamu tulis di kertas itu?”
“12 tahun lagi akan kuberitahu kamu. Tapi
kamu janji harus dateng yaaa”
Aku
meneteskan airmata lagi, angin terasa lebih dingin dari biasanya. Hahaha,
bahkan Kafka melupakan bertanya tentang apa yang aku tulis.. hik… apa kamu
sudah tidak ingin tahu lagi Kafka? Atau kamu menerka apa yang aku tulis dan
menganggap itu benar?
Apa
kamu tahu bahwa yang aku tulis di surat
ituuu…
Aku ingin melihat Kafka bahagia
Tangis
ku meledak. Hal yang aku tulis dalam kertas itu memang terwujud, seharusnya aku
bahagia! Seharusnya aku bahagia! T.T
Ya Allah. Dia memang bahagia, tapi kenapa
terasa sakit? Mungkin seharusnya 12 tahun yang lalu aku menulis “ Aku ingin
bersama Kafka selamanya” atau “aku ingin menikah dengannya?” atau… Hiks… Hiks…
__oOo__