Anti
sedang merenung ketika teman disampingnya berkali-kali memanggil namanya.
“Antiiii!!!”
Anti
hanya memasang wajah kaget dan menoleh ke arah temannya, temannya kemudian
melanjutkan omongannya, Anti memperhatikannya tapi tidak menyimaknya.
Pikirannya sedang tertuju pada satu tanggal. 26 April 2013.
15
April 2013, Anti ditelpon oleh seseorang yang tiba-tiba datang dalam
kehidupannya bak malaikat. Bagaimana tidak? Dia sedang bingung membayar semua
tagihan-tagihan biaya kuliah yang tidak mampu ia bayar, dari Rp 12.000.000 uang
semester yang harus dia bayar kemarin, ia baru bayar Rp 100.000 dengan
penandatanganan hitam diatas putih bahwa pada tanggal 26 April besok, ia harus
melunaskan itu atau dikenakan denda. Beban pikiran-pikiran yang membuat Anti
stress itu berkurang ketika seseorang datang menawarkan beasiswa yang
sepertinya menarik dan sangat membantu biaya kuliahnya, pada hari itu orang
yang tak lain adalah teman sekampus Anti ingin datang ke rumah Anti, untuk
memfoto rumah Anti. Anti bingung, bukan karena ia lupa alamat rumahnya, jelas
bukan! Tapi, mengingat rumahnya yang bisa dibilang bagus, dengan dinding
permanen, genteng dan lantai keramik, bagaimana mungkin dia bisa meyakinkan
temannya bahwa dia memang sedang butuh bantuan sekalipun rumahnya bagus.
“Rumah
yang gua tinggalin ini warisan dari nenek, ayah tadinya cuma marbot masjid, dan
sekarang baru kerja dua bulan jadi tukang sapu parkir di suatu kampus, mama
sakit dan belum pulih, gua sendiri bekerja untuk menambah uang jajan dan
membeli alat-alat kuliah. Kalo ga kerja mana bisa beli biar kata cuma sepatu
abal yang harganya Rp 35.000”
Teman
Anti hanya diam seolah terhenyak dengan semua cerita-cerita Anti.
“kayaknya
gua pernah ngobrol deh ama bokap lu, pas bokap lu masih jadi marbot masjid di deket
kosan gua”
“Gua
tau kok. Soalnya waktu itu bokap pernah cerita, dan yang gua tau temen sekampus
gua yang ngekos deket kampus ya lu.”
Sejenak
keadaan hening.
“Haaaaaahh!”
Anti menghela nafas seolah udara tiba-tiba menjadi begitu berat sekarang.
“Kalo
seandainya gua certain ini ke orang banyak dengan kondisi rumah yang bisa
dibilang bagus walaupun ga mewah ini, mana ada yang percaya. Sebenarnya gua
takut ikut beasiswa yang pake liat rumah karena ini, gua pasti dianggap ga
layak, padahal gua bener-bener butuh”
“Iyaa
gua juga bingung sih jelasin ke orang yang ngurus beasiswa ini, yaah doain aja
semoga mereka percaya, tapi gua percaya ko, soalnya gua pernah ngobrol ama
bokap lu jauh sebelum gua diamanatin ini, dan ceritanya sama kayak lu”
“Sertifikat
tanah ini juga digadain buat biaya kuliah gua, ditambah utang-utang lain, gua
kadang pengen nangis ngeliat bokap gua yang suka minjem sana-sini, kalo
tiba-tiba orangnya nagih dan suka kasar nagihnya tuuhh sakit gua ngeliatnya,
sakiit banget”
“Udah
Ti, nanti gua omongin sama orang yang beasiswa ini, tapi gua ga berani jamin lu
dapet dan dia bisa percaya yaa”
“Iyaa
gapapa, setidaknya gua udah usaha, gua juga lagi nunggu beasiswa tapi belum
keluar-keluar pengumumannya di kampus padahal gua lagi butuh banget”
Keadaan
kembali sunyi. Teman Anti membuang pandangan ke setiap sisi rumah Anti, ibu
Anti sedang mencuci baju, mencuci baju manual bukan dnegan mesin cuci.
Ahhhh, pusing kalo dipikirin mulu,
ga ada habisnya.
Anti
kemudian menyandarkan diri di dinding yang dingin di kamar temannya yang masih
sibuk bercerita itu, entah apa yang diceritakan Anti tidak menyimak, hanya
memperhatikan. Dia memejamkan matanya berharap jika ia membuka mata ini semua
sudah berakhir. Tapi ternyata tidak! Itu tidak bisa. Kemudian ia memejamkan
matanya sekali lagi.
16
April 2013, ketika Anti pergi ke kampus dan masuk ke ruang administrasi untuk
mengurus absensi yang bermasalah tentang dirinya…
“Iya
pak, jadi tuh saya pernah bicara sama Pak Januadi yang ternyata ayahnya, dan
memang benar dia marbot masjid pak, dan ceritanya pun ga beda dengan yang
diceritakan si anak”
“Tapi
kan dia rumah warisan, seharusnya ada duitnya doong pas pindah rumah? itu
duitnya kemana aja cobaa?”
JLEB.
Sebagaimana busur yang terlepas dari panahnya dan melesat menembus lapisan-lapisan
udara pelindung yang sebenarnya sudah tipis, menusuk tepat di hati Anti ketika
mendengarnya. Anti bermaksud untuk segera pergi dari ruang itu sebelum temannya
itu menyadari dirinya ada disana dan mendengar ketidakpercayaan dari beberapa
dosen yang ia ajak bicara itu.
Rasanya
ingin menangis. Berkali-kali Anti mendongakan kepala dan menarik nafas
dalam-dalam dan berpura-pura mengucak matanya dihadapan kerumunan teman
kampusnya hanya untuk menyembunyikan keinginannya untuk menangis.
Adakah yang percaya, dan memberi
sedikit saja keringanan? Saya bukan orang yang pemalas, nilai saya pun tidak
buruk, disaat orang-orang tengah sibuk beli baju, sepatu, make up yang harganya
menjulang, saya justru berpikir ‘apa besok kami bisa makan?’ dan tidak pernah
berhenti berpikir ‘bagaimana saya harus membayar tanggal 26 besok’ saya tidak
peduli jika saya sakit, tapi ayah saya pasti lebih sakit jika mendengar ada
yang tidak percaya, bagaimana saya harus menceritakan ini?
Pikiran-pikiran
itu mulai mengganggu ketenangan Anti, dia memutuskan untuk tidak menceritakan
kejadian itu pada ayahnya. Entah apa yang akan dia lakukan lagi untuk 26 besok.
Anti
membuka matanya kemudian mendapati temannya ada dihadapannya, dan tiba-tiba
temannya memeluk Anti.
“Lu
kenapa Ti? Gua minta maaf kalo gua terlalu sibuk dengan masalah pribadi gua,
dan ga sadar kalo teman gua lagi nangis”
Anti
pun meledak saat itu, setidaknya pelukan itu dan tangisan yang ia keluarkan itu
mampu mengurangi beban batin yang ia tanggung. Yaah, setidaknya sedikit berkurang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar