Senin, 22 April 2013

Jangan Sampai Ayah Tahu



Anti sedang merenung ketika teman disampingnya berkali-kali memanggil namanya.
“Antiiii!!!”
Anti hanya memasang wajah kaget dan menoleh ke arah temannya, temannya kemudian melanjutkan omongannya, Anti memperhatikannya tapi tidak menyimaknya. Pikirannya sedang tertuju pada satu tanggal. 26 April 2013.
15 April 2013, Anti ditelpon oleh seseorang yang tiba-tiba datang dalam kehidupannya bak malaikat. Bagaimana tidak? Dia sedang bingung membayar semua tagihan-tagihan biaya kuliah yang tidak mampu ia bayar, dari Rp 12.000.000 uang semester yang harus dia bayar kemarin, ia baru bayar Rp 100.000 dengan penandatanganan hitam diatas putih bahwa pada tanggal 26 April besok, ia harus melunaskan itu atau dikenakan denda. Beban pikiran-pikiran yang membuat Anti stress itu berkurang ketika seseorang datang menawarkan beasiswa yang sepertinya menarik dan sangat membantu biaya kuliahnya, pada hari itu orang yang tak lain adalah teman sekampus Anti ingin datang ke rumah Anti, untuk memfoto rumah Anti. Anti bingung, bukan karena ia lupa alamat rumahnya, jelas bukan! Tapi, mengingat rumahnya yang bisa dibilang bagus, dengan dinding permanen, genteng dan lantai keramik, bagaimana mungkin dia bisa meyakinkan temannya bahwa dia memang sedang butuh bantuan sekalipun rumahnya bagus.
“Rumah yang gua tinggalin ini warisan dari nenek, ayah tadinya cuma marbot masjid, dan sekarang baru kerja dua bulan jadi tukang sapu parkir di suatu kampus, mama sakit dan belum pulih, gua sendiri bekerja untuk menambah uang jajan dan membeli alat-alat kuliah. Kalo ga kerja mana bisa beli biar kata cuma sepatu abal yang harganya Rp 35.000”
Teman Anti hanya diam seolah terhenyak dengan semua cerita-cerita Anti.
“kayaknya gua pernah ngobrol deh ama bokap lu, pas bokap lu masih jadi marbot masjid di deket kosan gua”
“Gua tau kok. Soalnya waktu itu bokap pernah cerita, dan yang gua tau temen sekampus gua yang ngekos deket kampus ya lu.”
Sejenak keadaan hening.
“Haaaaaahh!” Anti menghela nafas seolah udara tiba-tiba menjadi begitu berat sekarang.
“Kalo seandainya gua certain ini ke orang banyak dengan kondisi rumah yang bisa dibilang bagus walaupun ga mewah ini, mana ada yang percaya. Sebenarnya gua takut ikut beasiswa yang pake liat rumah karena ini, gua pasti dianggap ga layak, padahal gua bener-bener butuh”
“Iyaa gua juga bingung sih jelasin ke orang yang ngurus beasiswa ini, yaah doain aja semoga mereka percaya, tapi gua percaya ko, soalnya gua pernah ngobrol ama bokap lu jauh sebelum gua diamanatin ini, dan ceritanya sama kayak lu”
“Sertifikat tanah ini juga digadain buat biaya kuliah gua, ditambah utang-utang lain, gua kadang pengen nangis ngeliat bokap gua yang suka minjem sana-sini, kalo tiba-tiba orangnya nagih dan suka kasar nagihnya tuuhh sakit gua ngeliatnya, sakiit banget”
“Udah Ti, nanti gua omongin sama orang yang beasiswa ini, tapi gua ga berani jamin lu dapet dan dia bisa percaya yaa”
“Iyaa gapapa, setidaknya gua udah usaha, gua juga lagi nunggu beasiswa tapi belum keluar-keluar pengumumannya di kampus padahal gua lagi butuh banget”
Keadaan kembali sunyi. Teman Anti membuang pandangan ke setiap sisi rumah Anti, ibu Anti sedang mencuci baju, mencuci baju manual bukan dnegan mesin cuci.
Ahhhh, pusing kalo dipikirin mulu, ga ada habisnya.
Anti kemudian menyandarkan diri di dinding yang dingin di kamar temannya yang masih sibuk bercerita itu, entah apa yang diceritakan Anti tidak menyimak, hanya memperhatikan. Dia memejamkan matanya berharap jika ia membuka mata ini semua sudah berakhir. Tapi ternyata tidak! Itu tidak bisa. Kemudian ia memejamkan matanya sekali lagi.
16 April 2013, ketika Anti pergi ke kampus dan masuk ke ruang administrasi untuk mengurus absensi yang bermasalah tentang dirinya…
“Iya pak, jadi tuh saya pernah bicara sama Pak Januadi yang ternyata ayahnya, dan memang benar dia marbot masjid pak, dan ceritanya pun ga beda dengan yang diceritakan si anak”
“Tapi kan dia rumah warisan, seharusnya ada duitnya doong pas pindah rumah? itu duitnya kemana aja cobaa?”
JLEB. Sebagaimana busur yang terlepas dari panahnya dan melesat menembus lapisan-lapisan udara pelindung yang sebenarnya sudah tipis, menusuk tepat di hati Anti ketika mendengarnya. Anti bermaksud untuk segera pergi dari ruang itu sebelum temannya itu menyadari dirinya ada disana dan mendengar ketidakpercayaan dari beberapa dosen yang ia ajak bicara itu.
Rasanya ingin menangis. Berkali-kali Anti mendongakan kepala dan menarik nafas dalam-dalam dan berpura-pura mengucak matanya dihadapan kerumunan teman kampusnya hanya untuk menyembunyikan keinginannya untuk menangis.
Adakah yang percaya, dan memberi sedikit saja keringanan? Saya bukan orang yang pemalas, nilai saya pun tidak buruk, disaat orang-orang tengah sibuk beli baju, sepatu, make up yang harganya menjulang, saya justru berpikir ‘apa besok kami bisa makan?’ dan tidak pernah berhenti berpikir ‘bagaimana saya harus membayar tanggal 26 besok’ saya tidak peduli jika saya sakit, tapi ayah saya pasti lebih sakit jika mendengar ada yang tidak percaya, bagaimana saya harus menceritakan ini?
Pikiran-pikiran itu mulai mengganggu ketenangan Anti, dia memutuskan untuk tidak menceritakan kejadian itu pada ayahnya. Entah apa yang akan dia lakukan lagi untuk 26 besok.
Anti membuka matanya kemudian mendapati temannya ada dihadapannya, dan tiba-tiba temannya memeluk Anti.
“Lu kenapa Ti? Gua minta maaf kalo gua terlalu sibuk dengan masalah pribadi gua, dan ga sadar kalo teman gua lagi nangis”
Anti pun meledak saat itu, setidaknya pelukan itu dan tangisan yang ia keluarkan itu mampu mengurangi beban batin yang ia tanggung. Yaah, setidaknya sedikit berkurang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar