Minggu, 19 Mei 2013

Sebutir Beras Untuk Ayah


Terinspirasi dari keringat-keringat ayah-ayah di dunia ini, yang tiada mengeluh betapa banyak tuntutankita terhadapnya, dan kita selalu menuduhnya ‘tidak pengertian’ jika itu tidak dipenuhi padahal ayah tidak pernah menuntut pengertian kita untuk mengerti betapa kerasnya usaha yang dia lakukan bahkan hanya untuk sebutir nasi.

Sebutir Beras Untuk Ayah

Aku Riana, usiaku tujuh belas tahun, yang kata orang umur sedang banyak maunya, mau kelihatan cantiklah, inilah, itulah. Aku juga sedang banyak mau. Tapi keinginanku mungkin cukup sederhana untuk orang-orang diluar sana. Aku hanya ingin…. Nasi.
Ibuku adalah seorang ibu rumah tangga dari tiga orang anak dan aku adalah anak bungsunya, kata orang anak bungsu dimanja-manja, tetapi sepertinya tidak bisa berlaku didalam keluarga kami. Ayahku seorang buruh kasar di desaku, seringkali ia tidak memiliki pekerjaan dan mencari-cari pekerjaan dari matahari mulai menampakkan hidungnya sampai matahari menyelimutkan dirinya dalam senja. Ibuku pun menjual anyaman untuk menambah penghasilan, tapi yaa tidak banyak yang membeli walaupun kami tinggal di perumahan kumuh sekalipun. Kakak tertuaku pergi dari rumah dan tak kembali ketika ayah berhasil menguliahkannya sampai ayah tak memiliki sepeser pun saat itu, entah apa yang ada dipikiran kakakku, dan kakak kedua ku sekarang dia sudah dipinang oleh seorang laki-laki, yang juga tak jauh-jauh dari kalangan kami. Yaahh aku mulai memaki-maki FTV-FTV, mana mungkin seorang miskin bisa dapet orang kaya? Wong gaulnya aja ama sesama miskin, yaah seperti kami. Sekarang kalian bisa imajinasikan keadaan kami?
Hari ituu, aku berkali-kali mengeluh dada didalam kamar, aku mogok makan. Padahal tak ada yang bisa dimakan, yaa terkecuali nasi aking yang didapat ayah dari sisa masak pembantu di rumah perkomplekan di dekat rumah kami. Rumah kumuh kami memang dekat dengan komplek, dan kalian tahu? Mereka hanya mengeluhkan betapa baunya kamu dengan sampah-sampah kami, seperti mereka benar-benar bukan sampah saja!
Aku mengambil buku tulis lusuhku yang tinggal hanya selembar, aku sungguh ingin menulis, aku suka menulis, tapiiii jika aku tulis selembar ini lalu besok aku harus tulis dimana pelajaranku? Kalian kaget aku sekolah? Jangan kaget begitu! Memangnya hanya orang-orang kaya yang sanggup sekolah? Aku benar-benar muak dengan kesadaan ini dan aku berniat merubahnya, aku bersekolah di suatu SMA swasta bagus di daerahku, gratis sampai lulus. Tapi jarak sekolah dan rumahku lumayan jauh dan menyebabkan aku selalu terlambat, tapi karna aku pintar, aku tidak pernah diberi hukuman seperti yang lain. sombong? Yaa aku memang sombong, terlebih saat aku SMA ini. Aku menyesal ayah. Kenapa kau tak kembali?
Hari itu, hari dimulainya peristiwa yang aku sesali seumur hidupku. Aku mulai bosan dengan harus berjalankaki setiap hari, ibu dengan baju bolongnya yang terlihat ga bergaya, ga bisa aku pejeng didepan teman-teman dan bilang dengan bangga “Ini ibuku!”,  terlebih ketika aku mengingat peristiwa di kelas ketika ada tugas maju ke depan dan menceritakan keluarga, mereka bilang “ayahku lulusan Harvard”, padahal aku juga gatau saat itu Harvard itu nama sekolah apa, tapi karena semua pada menganga mendengar kalimat itu, pasti itu keren. Kemudian ada yang bilang “Ibuku duta luar negeri” “Ibuku ini” “Ayahku itu” daaannn tibalah giliranku.
“Mmmmm, aku..”
TENG… TENG…TENG…
“Wah sayang sekali Riana, mungkin kita bisa mendengar ceritamu lainkali, sekarang kembali ke bangkumu karena kita akan berdoa untuk pulang.”
Terserah kalian mau bilang aku malinkundang atauapapun aku senang sekali dengan bel itu, begitu tepat. Tapi tetap saja aku menyimpan rasa kesal karena kejadian itu, aku terus berpikir jika aku harus bercerita tentang orangtua, keluargaku, apa yang bisa sedikit dibanggakan? Sepertinya tidak ada! Rumah reot! Lingkungan kumuh! Uang seribu yang begitu mewah! Makan pizza seperti mimpi! Bahkan makan es krim magnum yang katanya enak itu seperti mimpi!  Aku benci ini semua, akhirnya aku mengurung diri dan tidak mau keluar.
“Anaaa, ayooo makan ana”
“Emang ada yang bisa dimakan Bu? Nasi aking itu ga layak dimakan buu, akuuu mau nasiii, udah hampir 4 bulan makannya ini mulu, makanan paling mewah saja nasi aking plus telur ceplok! Itupun satu dan dipotong tiga! Aku ga mau makan kalo ga ada nasiii, emang gaji ayah kemana siiihhh? “
“Ayah sedang tidak memiliki pekerjaan nak, dia sekarang sedang berkeliling untuk menyemir sepatu”
“Yaa trus duit ayah nyemir tuh kemana buu? Kemaaaannaaa? “
Ibuku hanya diam, aku benar-benar tak mau melihat wajah ibuku, dan terus menggerutu.
“Assalamualaikum”
Aku melihat ke sumber suara yang sepertinya dari ayah yang baru pulang, ibu langsung mengahmpiri ayah. Aku berdeiri dan melihat mereka dari kejauhan.  Wajah cemas mereka, aku bisa menangkap dengan baik bahwa ayah tidak bawa uang sepeser pun dan mulai gelisah karena anaknya mogok mau makan nasi.  Aku makin jengkel saja akhirnya aku melewati mereka tanpa sepatah katapun, aku mendengar ibuku memanggil tapi ku acuhkan. Aku mau keluar dan berjalan sebentar. Aku berjalan ke sebuah tempat di dekat sawah yang sudah tak terawat, aku duduk di saung yang lama tak dikunjungi tuannya itu. Aku tertidur.
Saat aku terbangun, aku memutuskan untuk pulang, sekalipun tak ada nasi aku tetap harus pulang, karna aku takut kehujananan. Aku bermaksud mengambil jalan terjauh untuk ke rumah, yaitu lewat jalan raya, banyak took beras disana. Saat banyak orang aku terjatuh dan tcoba tebak, apa ada yang menolong orang berpakaian kumuh sepertiku? Tidak! Aku terjatuh di hadapan sebutir beras, tiba-tiba aku teringat dengan ibu dan ayah, jika melihat banyak orang tapi taka a yang perduli padaku aku jadi takut dan merasa bersalah pada ayah. Aku mengambil sebutir beras itu dan memandanginya.
“Gara-gara kamu, aku jadi begini sama ibu dan ayah!” tanpa sadar air mata jatuh di pipiku, aku berusaha menghapusnya dan bangkit berdiri bersama sebutir nasi itu. Aku ingin menyerahkan kepada ayah, aku ingin minta maaf. Yaah walaupun ini hanya sebutir beras.  Aku berjalan dengan perasaan bersalah, tiba-tiba ada tabrakan di jalan raya, suasana langsung gaduh,itu menyadarkanku dari semua pikiran-pikiranku, tiba-tiba saja semua orang mendekati korban, aku juga penasaran tapi aku harus segera pulang. Aku terus memegang sebutir beras tanda maafku, saat sudah mau sampai rumah, seperti ada yang memanggilku.
“Anaaaa, kamu kemana aja!?”
“Aku ketiduran di saung Bu Ratih, kenapa? Si Rani minta diajarin mtk lagi?”
“Bukaaaan anaa!” tiba-tiba ibu Ratih memelukku. Kemudian dia melepas pelukannya ketika warga sibuk membopong seseorang yang berlumuran darah ke rumahku, aku tidak tahu siapa itu, mungkin kakak tertuaku yang lama hilang, soalnya dibelakang segerombolan orang itu ibu menangis, aku jadi bingung kenapa ibu nangisin anak kayak dia. Aku semakin bingun lagi ketika ibu Ratih, tetanggaku yang paling baik ikut-ikutan menangis, aku jadi gelisah. Aku berusaha mendekati ibu, ditangannya ada tas bahan warna putih berlumuran darah dan….. beras. Aku semakin gelisah aku mendekati orang yang dibopong warga, sempat menjinjit sampai kerumunan orang itu menaruh seseoran itu di atas tikar anyaman ibu yang baru ¾ selesai.
Entah senapan mana dan darimana yang menembak tepat dihatiku, nyaris membuatku tersenggal, memaksa kelenjar airmataku mengeluarkan seluruh airmatanya. Aku masih memegang erat sebutir nasi untuk ayahku. Aku menangis dan meringkuh dihadapan ayah, untungnya dia masih bergerak. Berarti dia masih hidup. Aku mendekatinya. Tubuh penuh darah itu.
“Ayaaaahhh, akuuu minta maaf ayaahh, Anaa minta maaf, ana gatau harus ngapain dan ngasih apa biar ayah maafin ana yang kurang ngajar, Ana Cuma bawa sebutir beras tanda maaf Ana. “
“Maafin ayah,” katanya pelan sekali dan lirih.
“A.. yah, udah beli…. Be…rass, kamu.. maa..kann.. yaa” aku melihat ia tersenggal-senggal.
“Ibuuuu! Ibuuu! Bawa ayah ke Rumah sakit ibuuuuu.” Aku mendekati ibu dan bersujud memohon padanya. Tapi ibu takmau menjawab. Aku kembali kepada ayah. Aku menangis sejadi-jadinya dihadapnnya, butir beras yang aku berikan masih ia pegang kemudian ia telan.
“Berasnya e..nak. maka..sih yaa. “
Ayah mengalihkan pandangan ke atas rumah, dan berkali-kali kulihat tubuhnya seperti berlomba-lomba mengambil oksigen yang sulit masuk ke dalam tubuhnya.
“Ashaduallailahaillah, wa ashaduaann…naa Muhammadarrosullullah”
Tiba-tiba mata ayah tertutup. Aku men dekati wajahnya, aku goncangkan tubuhnya berkali-kali, aku panic. Aku mendekati ibu.
“Kenapa ibu ga bawa ayah ke rumah sakit buu? Kenapa kesini? Kenapaaa!! Hiks hiks”
Ibu hanya diam, dan ikut menangis bersamaku.
Beberapa hari setelah ayah meninggal, ibu mengambil kaleng biscuit tua, aku pikir isinya jarum dan benang. Ibu hanya mmeberikannya dan meninggalkanku untuk melanjutkan anyamannya.
Aku membuka kaleng itu. Ada banyak uang, aku tersenyum melihatnya, aku bisa pakai untuk beli beras, beli mesin jait untuk ibu, biaya penguburan ayah dann… ada surat?
Untuk biaya kuliah anak bungsu tercinta saya, Riana Putri.
Tanpa sadar airmata turun ke pipiku, uang gaji ayah yang selama ini aku pertanyakan kemana? Kenapa dia ga beliin aku baju atau bahkan sandal untuk mengganti sandalnya yang sudah tipis sekali. Jadi untuk ini. Jadi untuk ini. Sebutir berasku benar-benar ga bisa dibandingkan dengan ini! Benar-benar ga! Aku menyesal ayah!! Menyesal!! Kenapa kau tak kembali?  T.T

Tidak ada komentar:

Posting Komentar