Terinspirasi
dari keringat-keringat ayah-ayah di dunia ini, yang tiada mengeluh betapa
banyak tuntutankita terhadapnya, dan kita selalu menuduhnya ‘tidak pengertian’
jika itu tidak dipenuhi padahal ayah tidak pernah menuntut pengertian kita
untuk mengerti betapa kerasnya usaha yang dia lakukan bahkan hanya untuk sebutir
nasi.
Sebutir
Beras Untuk Ayah
Aku Riana,
usiaku tujuh belas tahun, yang kata orang umur sedang banyak maunya, mau
kelihatan cantiklah, inilah, itulah. Aku juga sedang banyak mau. Tapi
keinginanku mungkin cukup sederhana untuk orang-orang diluar sana. Aku hanya
ingin…. Nasi.
Ibuku adalah
seorang ibu rumah tangga dari tiga orang anak dan aku adalah anak bungsunya,
kata orang anak bungsu dimanja-manja, tetapi sepertinya tidak bisa berlaku
didalam keluarga kami. Ayahku seorang buruh kasar di desaku, seringkali ia
tidak memiliki pekerjaan dan mencari-cari pekerjaan dari matahari mulai
menampakkan hidungnya sampai matahari menyelimutkan dirinya dalam senja. Ibuku
pun menjual anyaman untuk menambah penghasilan, tapi yaa tidak banyak yang
membeli walaupun kami tinggal di perumahan kumuh sekalipun. Kakak tertuaku
pergi dari rumah dan tak kembali ketika ayah berhasil menguliahkannya sampai
ayah tak memiliki sepeser pun saat itu, entah apa yang ada dipikiran kakakku,
dan kakak kedua ku sekarang dia sudah dipinang oleh seorang laki-laki, yang
juga tak jauh-jauh dari kalangan kami. Yaahh aku mulai memaki-maki FTV-FTV,
mana mungkin seorang miskin bisa dapet orang kaya? Wong gaulnya aja ama sesama
miskin, yaah seperti kami. Sekarang kalian bisa imajinasikan keadaan kami?
Hari ituu, aku
berkali-kali mengeluh dada didalam kamar, aku mogok makan. Padahal tak ada yang
bisa dimakan, yaa terkecuali nasi aking yang didapat ayah dari sisa masak
pembantu di rumah perkomplekan di dekat rumah kami. Rumah kumuh kami memang
dekat dengan komplek, dan kalian tahu? Mereka hanya mengeluhkan betapa baunya
kamu dengan sampah-sampah kami, seperti mereka benar-benar bukan sampah saja!
Aku mengambil
buku tulis lusuhku yang tinggal hanya selembar, aku sungguh ingin menulis, aku
suka menulis, tapiiii jika aku tulis selembar ini lalu besok aku harus tulis
dimana pelajaranku? Kalian kaget aku sekolah? Jangan kaget begitu! Memangnya
hanya orang-orang kaya yang sanggup sekolah? Aku benar-benar muak dengan
kesadaan ini dan aku berniat merubahnya, aku bersekolah di suatu SMA swasta
bagus di daerahku, gratis sampai lulus. Tapi jarak sekolah dan rumahku lumayan
jauh dan menyebabkan aku selalu terlambat, tapi karna aku pintar, aku tidak
pernah diberi hukuman seperti yang lain. sombong? Yaa aku memang sombong,
terlebih saat aku SMA ini. Aku menyesal ayah. Kenapa kau tak kembali?
Hari itu, hari
dimulainya peristiwa yang aku sesali seumur hidupku. Aku mulai bosan dengan
harus berjalankaki setiap hari, ibu dengan baju bolongnya yang terlihat ga
bergaya, ga bisa aku pejeng didepan teman-teman dan bilang dengan bangga “Ini
ibuku!”, terlebih ketika aku mengingat
peristiwa di kelas ketika ada tugas maju ke depan dan menceritakan keluarga,
mereka bilang “ayahku lulusan Harvard”, padahal aku juga gatau saat itu Harvard
itu nama sekolah apa, tapi karena semua pada menganga mendengar kalimat itu,
pasti itu keren. Kemudian ada yang bilang “Ibuku duta luar negeri” “Ibuku ini”
“Ayahku itu” daaannn tibalah giliranku.
“Mmmmm, aku..”
TENG…
TENG…TENG…
“Wah sayang
sekali Riana, mungkin kita bisa mendengar ceritamu lainkali, sekarang kembali
ke bangkumu karena kita akan berdoa untuk pulang.”
Terserah kalian
mau bilang aku malinkundang atauapapun aku senang sekali dengan bel itu, begitu
tepat. Tapi tetap saja aku menyimpan rasa kesal karena kejadian itu, aku terus
berpikir jika aku harus bercerita tentang orangtua, keluargaku, apa yang bisa
sedikit dibanggakan? Sepertinya tidak ada! Rumah reot! Lingkungan kumuh! Uang
seribu yang begitu mewah! Makan pizza seperti mimpi! Bahkan makan es krim
magnum yang katanya enak itu seperti mimpi! Aku benci ini semua, akhirnya aku mengurung
diri dan tidak mau keluar.
“Anaaa, ayooo
makan ana”
“Emang ada yang
bisa dimakan Bu? Nasi aking itu ga layak dimakan buu, akuuu mau nasiii, udah
hampir 4 bulan makannya ini mulu, makanan paling mewah saja nasi aking plus
telur ceplok! Itupun satu dan dipotong tiga! Aku ga mau makan kalo ga ada
nasiii, emang gaji ayah kemana siiihhh? “
“Ayah sedang
tidak memiliki pekerjaan nak, dia sekarang sedang berkeliling untuk menyemir
sepatu”
“Yaa trus duit
ayah nyemir tuh kemana buu? Kemaaaannaaa? “
Ibuku hanya
diam, aku benar-benar tak mau melihat wajah ibuku, dan terus menggerutu.
“Assalamualaikum”
Aku melihat ke
sumber suara yang sepertinya dari ayah yang baru pulang, ibu langsung
mengahmpiri ayah. Aku berdeiri dan melihat mereka dari kejauhan. Wajah cemas mereka, aku bisa menangkap dengan
baik bahwa ayah tidak bawa uang sepeser pun dan mulai gelisah karena anaknya
mogok mau makan nasi. Aku makin jengkel
saja akhirnya aku melewati mereka tanpa sepatah katapun, aku mendengar ibuku
memanggil tapi ku acuhkan. Aku mau keluar dan berjalan sebentar. Aku berjalan
ke sebuah tempat di dekat sawah yang sudah tak terawat, aku duduk di saung yang
lama tak dikunjungi tuannya itu. Aku tertidur.
Saat aku
terbangun, aku memutuskan untuk pulang, sekalipun tak ada nasi aku tetap harus
pulang, karna aku takut kehujananan. Aku bermaksud mengambil jalan terjauh
untuk ke rumah, yaitu lewat jalan raya, banyak took beras disana. Saat banyak
orang aku terjatuh dan tcoba tebak, apa ada yang menolong orang berpakaian
kumuh sepertiku? Tidak! Aku terjatuh di hadapan sebutir beras, tiba-tiba aku
teringat dengan ibu dan ayah, jika melihat banyak orang tapi taka a yang
perduli padaku aku jadi takut dan merasa bersalah pada ayah. Aku mengambil
sebutir beras itu dan memandanginya.
“Gara-gara
kamu, aku jadi begini sama ibu dan ayah!” tanpa sadar air mata jatuh di pipiku,
aku berusaha menghapusnya dan bangkit berdiri bersama sebutir nasi itu. Aku
ingin menyerahkan kepada ayah, aku ingin minta maaf. Yaah walaupun ini hanya
sebutir beras. Aku berjalan dengan
perasaan bersalah, tiba-tiba ada tabrakan di jalan raya, suasana langsung
gaduh,itu menyadarkanku dari semua pikiran-pikiranku, tiba-tiba saja semua
orang mendekati korban, aku juga penasaran tapi aku harus segera pulang. Aku
terus memegang sebutir beras tanda maafku, saat sudah mau sampai rumah, seperti
ada yang memanggilku.
“Anaaaa, kamu
kemana aja!?”
“Aku ketiduran
di saung Bu Ratih, kenapa? Si Rani minta diajarin mtk lagi?”
“Bukaaaan
anaa!” tiba-tiba ibu Ratih memelukku. Kemudian dia melepas pelukannya ketika
warga sibuk membopong seseorang yang berlumuran darah ke rumahku, aku tidak
tahu siapa itu, mungkin kakak tertuaku yang lama hilang, soalnya dibelakang
segerombolan orang itu ibu menangis, aku jadi bingung kenapa ibu nangisin anak
kayak dia. Aku semakin bingun lagi ketika ibu Ratih, tetanggaku yang paling
baik ikut-ikutan menangis, aku jadi gelisah. Aku berusaha mendekati ibu,
ditangannya ada tas bahan warna putih berlumuran darah dan….. beras. Aku
semakin gelisah aku mendekati orang yang dibopong warga, sempat menjinjit
sampai kerumunan orang itu menaruh seseoran itu di atas tikar anyaman ibu yang
baru ¾ selesai.
Entah senapan
mana dan darimana yang menembak tepat dihatiku, nyaris membuatku tersenggal,
memaksa kelenjar airmataku mengeluarkan seluruh airmatanya. Aku masih memegang
erat sebutir nasi untuk ayahku. Aku menangis dan meringkuh dihadapan ayah,
untungnya dia masih bergerak. Berarti dia masih hidup. Aku mendekatinya. Tubuh
penuh darah itu.
“Ayaaaahhh,
akuuu minta maaf ayaahh, Anaa minta maaf, ana gatau harus ngapain dan ngasih
apa biar ayah maafin ana yang kurang ngajar, Ana Cuma bawa sebutir beras tanda
maaf Ana. “
“Maafin ayah,”
katanya pelan sekali dan lirih.
“A.. yah, udah
beli…. Be…rass, kamu.. maa..kann.. yaa” aku melihat ia tersenggal-senggal.
“Ibuuuu! Ibuuu!
Bawa ayah ke Rumah sakit ibuuuuu.” Aku mendekati ibu dan bersujud memohon
padanya. Tapi ibu takmau menjawab. Aku kembali kepada ayah. Aku menangis
sejadi-jadinya dihadapnnya, butir beras yang aku berikan masih ia pegang
kemudian ia telan.
“Berasnya
e..nak. maka..sih yaa. “
Ayah
mengalihkan pandangan ke atas rumah, dan berkali-kali kulihat tubuhnya seperti
berlomba-lomba mengambil oksigen yang sulit masuk ke dalam tubuhnya.
“Ashaduallailahaillah,
wa ashaduaann…naa Muhammadarrosullullah”
Tiba-tiba mata
ayah tertutup. Aku men dekati wajahnya, aku goncangkan tubuhnya berkali-kali,
aku panic. Aku mendekati ibu.
“Kenapa ibu ga
bawa ayah ke rumah sakit buu? Kenapa kesini? Kenapaaa!! Hiks hiks”
Ibu hanya diam,
dan ikut menangis bersamaku.
Beberapa hari
setelah ayah meninggal, ibu mengambil kaleng biscuit tua, aku pikir isinya
jarum dan benang. Ibu hanya mmeberikannya dan meninggalkanku untuk melanjutkan
anyamannya.
Aku membuka
kaleng itu. Ada banyak uang, aku tersenyum melihatnya, aku bisa pakai untuk
beli beras, beli mesin jait untuk ibu, biaya penguburan ayah dann… ada surat?
Untuk biaya kuliah anak bungsu tercinta
saya, Riana Putri.
Tanpa sadar
airmata turun ke pipiku, uang gaji ayah yang selama ini aku pertanyakan kemana?
Kenapa dia ga beliin aku baju atau bahkan sandal untuk mengganti sandalnya yang
sudah tipis sekali. Jadi untuk ini. Jadi untuk ini. Sebutir berasku benar-benar
ga bisa dibandingkan dengan ini! Benar-benar ga! Aku menyesal ayah!! Menyesal!!
Kenapa kau tak kembali? T.T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar