Aku masih
merasa ini mimpi. Ku cubit tanganku dengan menggunakan tanganku yang lain,
tentunya dengan sisa-sisa tenagaku yang tua renta ini, dan ternyata sakit. Jadi
ini bukan mimpi?. Yaaa.. Sepertinya ini
bukan mimpi, tapi aku yakin aku pernah bermimpi seperti ini, seperti sekarang! Tidak
benar-benar sama tapi hampir sama. Yang berbeda hanya subjek-subjek dari
mimpiku itu.
Aku ini
hanya seorang wanita tua renta, kata orang kerutanku seperti kerutan kayu tua,
aaah dasar anak muda! Mereka lupa bahwa mereka akan sepertiku, lihat saja
nanti! Aku hanya punya anak perempuan. Ahh! Rasanya teriris sekali hati ini
membicarakannya! Anak yang ku asuh dengan kasih sayang telah melanggar
aturanku! Yahh, lebih tepatnya aturan agama! Bagaimana mungkin aku sanggup
melihat anak perempuanku itu tengah bercumbu manis di dalam rumah peninggalan
mendiang suamiku ini? Sementara usia
mereka masih belia. Jangan tanya apa yang terjadi setelahnya! Karena rasanya
sesak sekali untuk mengakui aku telah mengusirnya!. Pernah ku coba berbicara
dan menyuruhnya menjauhi lelaki itu, tapi sepertinya untuk memulai zina itu
mudah, tapi melepaskannya rasanya sulit, terlebih aku yakin itu bukan kali
pertama merreka seperti itu. Pernah kulihat putriku itu benar-benar menjauhi si
laki-laki itu, tapi apa daya. Ketika gelora nafsu dilepaskan maka sulitlah
sudah, aku rasa putriku rindu dicumbunya, sentuhan-sentuhannya, atau merasa
rugi karena laki-laki yang menggerayangi lekuk bibirnya itu tengah mengambil
kenikmatan darinya, sehingga ia tak mau membiarkan laki-laki itu pergi. Aku
bermaksud ingin menikahi mereka tapi sepertinya putriku termakan bual
kekasihnya itu yang berkata untuk menikahinya nanti setelah lulus SMA. Sampai
akhirnya aku benar-benar marah rumahku menjadi tempat pelepasan gelora nafsu
dari putriku sendiri, dan aku pun mengusirnya!! Dan coba tebak! Dia lebih
memilih kekasihnya itu dibanding aku. Apakah aku sudah pergi dari hatinya? Atau
justru hatinya yang sudah tiada. Hanya nafsu. Sepertinya bagi dunia luar
kasusku ini sudah jadi makanan utama, aku sebagai wanita tua malah dibilang..
Mmm kalau tidak salah ‘lebay’! yaa lebay katanya! Sebenarnya zaman apa ini?.
Kurasa
sekarang ini berbeda sekali dengan zamanku dulu. Dulu orangtua sepertiku sangat
dihormati, akupun tak pernah melewatkan jalan tanpa menyapa orangtua yang ada
dihadapanku bahkan jika aku tidak mengenalnya, aku juga pernah membantu
menyebrang, memijit, bercanda dengannya. Dan mendiang suamiku. Oh Tuhan, rasanya aku merindukannya. Aku bertemu
dengannya dikala ada kelompok remaja masjid, aku menyukainya dan kurasa dia pun
begitu, tapi kami selalu menjaga pandangan kami, dan mengedepankan nasihat ibu
kami untuk sekolah. Sampai akhirnya mendiang suamiku lulus kuliah dan
melamarku, tanpa ada proses pacar-pacaran seperti anak muda zaman sekarang kami
pun menikah. Kami punya proses saling mengenal versi kami di zaman dulu, yang
pastinya benar-benar berbeda dengan anak zaman sekarang. Mungkin ada segelintir
orang-orang alim, aku yakin pasti ada. Tapi apa jadinya jika zaman ini terus
berkembang? Kaum sepertiku mungkin akan menjadi semakin minoritas dan akhirnya
punah. Lalu… aahh aku tidak sanggup membayangkannya. Haaaaahhh, rasanya udara
semakin berat saja jika aku mengingat masamudaku, terlebih membandingkannya
dengan sekarang. Oh Tuhan, kurasa dunia ini sedang menangis, atau mungkin sudah
lelah menangis? Jika begini terus, bahkan bumipun akan memilih untuk kiamat
dibanding dibuat menangis terus-menerus oleh para manusia-manusia tak berhati.
Yaa benar-benar tak berhati. Seperti dicuri.
Aku jadi
ingat mimpiku malam itu, mimpi dihari terakhirku merasakan dihormati, dimana
ada anak paruh baya menolongku pulang kerumah saat kakiku sakit. Yaa.. Aku
masih ingat dengan sangat jelas mimpi itu.
Aku yang
berjalan di sebuah tempat antah berantah dengan pakaian putih dan sinar
menyelumuti diriku, tapi yang paling penting adalah aku dalam keadaan muda. Yaaa
benar! Rasanya seperti kembali muda, dimana kerutanku tidak ada, dan wajah
cantikku masih merona dibalut jilbab panjangku. Dihadapanku ada hiruk pikuk
manusia, tengah berpesta. Aku terus berjalan bermaksud mencari tahu dimana ku
berada, tapi setiap orang yang ku panggil seperti tidak ada yang mendengar,
bahkan beberapa dari mereka menembus diriku. Aneh. Aku seperti hantu. Hingga
akhirnya aku memutuskan untuk terus berjalan dan entah kapan aku harus
berhenti. Kurasa kakiku tetap saja seperti orangtua walaupun aku kembali muda.
Rasanya pegal sekali berjalan. Aku mencoba melihat sekitarku, aku merinding
setiap memperhatikannya. Bau khammar begitu menyengat disini, benar-benar
menyengat! Semua laki-laki disini pasti sedang minum, seolah dahaga tak pernah
ada obatnya. Perempuan-perempuan tengah memperlihatkan lekuk tubuhnya, bahkan
ada yang hanya tertutup kain tipis, dan tubuhnya benar-benar dapat dilihat
dengan mudah. Banyak satu laki-laki yang digerayangi oleh banyak wanita, yang
satu menciuminya, yang lain mengelusnya, dan yang satu memijatinya. Bahkan tak
jarang kulihat perempuan bersender di pohon dengan seorang laki-laki menghinggapi
lehernya dengan mulut dan lidahnya menjulur-julur memancing atmosfer panas dari
sang nafsu, kemudian menghinggapi dadanya dengan tangannya, tapi perempuan itu
hanya diam sambil setengah menutup mata dengan mendesah. Aku yang melihat hampir
saja merasa gelora-gelora nafsuku memuncak, tapi ku hentikan segala itu dan
menundukkan kepalaku.
“Astagfirullah”
Aku
kembali berjalan kemudian aku sampai ke sebuah desa yang lebih sepi dari tempat
sebelumnya, tapi tidak sesepi bulan saat mengunci malam dengan dengung lelapnya
ketika ku muda dulu. Disini aku melihat seorang tua renta sedang berjalan, ku
perhatikan setiap gerak-geriknya sampai aku melihatnya terjatuh. Aku nyaris
mencapainya dengan berlari sebelum seorang perempuan datang dari belakang
dengan membawa termos berisi air panas, dan… aku melindungi orang tua renta itu
tapi aku hantu disini, tak ada yang bisa menyentuhku, mendengarku, melihatku
seperti halnya merekapun tidak bisa. Alhasil orang tua renta itu kejang-kejang,
aku berusaha menyentuhnya dan ingin membantunya, tapi aku tidak bisa.
Benar-benar merasa tidak berguna. Aku menangis melihatnya. Belum sembuh
lukanya, seorang laki-laki datang dan menggebuk tubuhnya yang tua renta dengan
kayu sambil berteriak “Jika kau mati, rumah ini akan menjadi milikku!”. Aku
benar-benar tidak mengerti dunia apa ini. Aku melihatnya! Mellihat tatapan sang
tua renta itu, tatapan yang seolah berkata “ambilah apa yang kau mau, tapi
biarkan aku pergi. Aku hanya minta kau tinggalkan nyawa di jiwaku!”, mata itu
begitu lirih menahan sakit. Aku berada di depannya! Berharap akulah yang terkena
tendangan dari laki-laki itu, tapi tetap saja tidak bisa. Aku menangis, aku
berusaha menghentikan mereka tapi tidak bisa. Sampai akhirnya kucium bau hangat
darah kematian. Baunya benar-benar panas. Bau kematian yang bengis. aku bahkan
seperti merasa kehilangan nafasku melihat ini. Aku tak bergerak di hadapan
seonggok tubuh yang berdarah itu, aku menangis sementara perempuan dan
laki-laki itu pergi. Aku melihat dan mendengar lelaki itu tertawa dan berkata
kepada si perempuan “Aku sudah bilang aku akan membuat rumah ini menjadi
milikmu, tidak lagi adikku dan Ibuku, hanya kamu dan aku sayaang. Hahaha”
kemudian lelaki itu mencium bibir si perempuan, aaahh! Itu terlalu menjijikkan
untuk dilihat! Sudah! Sudah! Aku ingin pulang, dimana ini sebenarnya? Aku
sebenarnya tak tega meninggalkan nenek tua tak bernyawa sendirian disini, tapi aku pun tak bisa
melakukan apapun kecuali melihat dan menangisinya.
Aku terus
berjalan dan kemudian sampai ke sebuah desa, dimana aku hanya melihat
tubuh-tubuh penuh darah. Aura kematian benar-benar semerbak disini. Aku melihat
seorang laki-laki berpeci, bersih wajahnya, datang kepada seorang perempuan
berjilbab.
“Aisyah,
seperti halnya malaikat datang mencuci tubuh Nabi dengan mengambil sifat hasad,
dengki, dan sifat-sifat buruk lain, syaitan juga mencuci mereka semua dan
mengambil semua hati mereka. Aku tak sanggup lagi Aisyah. Kurasa dibanding
hidup dan kemungkinan besar menjadi murtad, lebih baik kita sembelih diri kita
kepada-Nya”
“Aku
tidak akan bunuh diri seperti orang-orang disini Bang. Sesungguhnya hatimu juga
sudah direbut oleh syaitan. Bagaiman mungkin kau menghindari hal buruk dengan
cara yang buruk? Itu sama saja Bang.Jika saja kau tidak menyuruh orang-orang
disini bunuh diri, aku yakin kita punya balatentara yang cukup untuk bertahan
tanpa diganggu mereka”
“Aku tidak
akan membiarkan syaitan itu mengambil hati berhargamu Aisyah, kalau kau terus
seperti ini aku akan membunuhmu!”
“Sadarlah
Bang, Abang sudah membiarkan satu desa ini membunuh dirinya sendiri!”
Perempuan
itu berkata dengan lirih tapi laki-laki itu menyergapnya dengan cepat tanpa
mebiarkan waktu sedetikpun bagi perempuan itu untuk melarikan dirinya. Lagi-lagi
aku melihat seseorang terbunuh, kali ini ditangan suaminya sendiri. Kemudian
laki-laki itu menusuk dirinya sendiri sampai mati. Mungkin dipikirannya dia
ingin menghindari orang-orang di desa yang telah kukunjungi sebelumnya tapi dia
tidak tahu bunuh diri juga bukan jalan yang disukai-Nya.
Seperti
itulah mimpiku, sekarang sepertinya mimpi itu benar-benar menjadi nyata. Dunia
ini memang semakin terang dengan hadirnya lampu, tapi semakin menggelapkan
ruh-ruh yang ada di dalam kekangan jiwa-jiwa tak berhati! Seperti syaitan telah
mengambil seluruh hatinya, sampai yang tersisa hanya nafsu. Sepertinya siang
ini aku berjalan terlalu jauh atau memang dunia ini yang sudah berubah?.
Aku
berusaha merebahkan tubuhku di kasur, tapi aku masih merasa ini mimpi. Aku
memejamkan mataku dan mengatur nafasku. Sampai aku merasa ada benda tajam menembus
kulit keriputku, aku berusaha membuka mataku dan kulihat seorang perempuan!
Perempuan itu kembali menusukkan pisaunya hingga datang seseorang paruh baya
dan berkata “Ibu aku sudah dapatkan suratnya!”. Meneteslah airmataku, anak itu
yang menolongku pulang ke rumah saat kakiku jatuh! Dan dia tak lain adalah
cucuku!