Jumat, 08 Februari 2013

Tak Berhati



Aku masih merasa ini mimpi. Ku cubit tanganku dengan menggunakan tanganku yang lain, tentunya dengan sisa-sisa tenagaku yang tua renta ini, dan ternyata sakit. Jadi ini bukan  mimpi?. Yaaa.. Sepertinya ini bukan mimpi, tapi aku yakin aku pernah bermimpi seperti ini, seperti sekarang! Tidak benar-benar sama tapi hampir sama. Yang berbeda hanya subjek-subjek dari mimpiku itu.
Aku ini hanya seorang wanita tua renta, kata orang kerutanku seperti kerutan kayu tua, aaah dasar anak muda! Mereka lupa bahwa mereka akan sepertiku, lihat saja nanti! Aku hanya punya anak perempuan. Ahh! Rasanya teriris sekali hati ini membicarakannya! Anak yang ku asuh dengan kasih sayang telah melanggar aturanku! Yahh, lebih tepatnya aturan agama! Bagaimana mungkin aku sanggup melihat anak perempuanku itu tengah bercumbu manis di dalam rumah peninggalan mendiang suamiku ini?  Sementara usia mereka masih belia. Jangan tanya apa yang terjadi setelahnya! Karena rasanya sesak sekali untuk mengakui aku telah mengusirnya!. Pernah ku coba berbicara dan menyuruhnya menjauhi lelaki itu, tapi sepertinya untuk memulai zina itu mudah, tapi melepaskannya rasanya sulit, terlebih aku yakin itu bukan kali pertama merreka seperti itu. Pernah kulihat putriku itu benar-benar menjauhi si laki-laki itu, tapi apa daya. Ketika gelora nafsu dilepaskan maka sulitlah sudah, aku rasa putriku rindu dicumbunya, sentuhan-sentuhannya, atau merasa rugi karena laki-laki yang menggerayangi lekuk bibirnya itu tengah mengambil kenikmatan darinya, sehingga ia tak mau membiarkan laki-laki itu pergi. Aku bermaksud ingin menikahi mereka tapi sepertinya putriku termakan bual kekasihnya itu yang berkata untuk menikahinya nanti setelah lulus SMA. Sampai akhirnya aku benar-benar marah rumahku menjadi tempat pelepasan gelora nafsu dari putriku sendiri, dan aku pun mengusirnya!! Dan coba tebak! Dia lebih memilih kekasihnya itu dibanding aku. Apakah aku sudah pergi dari hatinya? Atau justru hatinya yang sudah tiada. Hanya nafsu. Sepertinya bagi dunia luar kasusku ini sudah jadi makanan utama, aku sebagai wanita tua malah dibilang.. Mmm kalau tidak salah ‘lebay’! yaa lebay katanya! Sebenarnya zaman apa ini?.
Kurasa sekarang ini berbeda sekali dengan zamanku dulu. Dulu orangtua sepertiku sangat dihormati, akupun tak pernah melewatkan jalan tanpa menyapa orangtua yang ada dihadapanku bahkan jika aku tidak mengenalnya, aku juga pernah membantu menyebrang, memijit, bercanda dengannya. Dan mendiang suamiku. Oh Tuhan,  rasanya aku merindukannya. Aku bertemu dengannya dikala ada kelompok remaja masjid, aku menyukainya dan kurasa dia pun begitu, tapi kami selalu menjaga pandangan kami, dan mengedepankan nasihat ibu kami untuk sekolah. Sampai akhirnya mendiang suamiku lulus kuliah dan melamarku, tanpa ada proses pacar-pacaran seperti anak muda zaman sekarang kami pun menikah. Kami punya proses saling mengenal versi kami di zaman dulu, yang pastinya benar-benar berbeda dengan anak zaman sekarang. Mungkin ada segelintir orang-orang alim, aku yakin pasti ada. Tapi apa jadinya jika zaman ini terus berkembang? Kaum sepertiku mungkin akan menjadi semakin minoritas dan akhirnya punah. Lalu… aahh aku tidak sanggup membayangkannya. Haaaaahhh, rasanya udara semakin berat saja jika aku mengingat masamudaku, terlebih membandingkannya dengan sekarang. Oh Tuhan, kurasa dunia ini sedang menangis, atau mungkin sudah lelah menangis? Jika begini terus, bahkan bumipun akan memilih untuk kiamat dibanding dibuat menangis terus-menerus oleh para manusia-manusia tak berhati. Yaa benar-benar tak berhati. Seperti dicuri.
Aku jadi ingat mimpiku malam itu, mimpi dihari terakhirku merasakan dihormati, dimana ada anak paruh baya menolongku pulang kerumah saat kakiku sakit. Yaa.. Aku masih ingat dengan sangat jelas mimpi itu.
Aku yang berjalan di sebuah tempat antah berantah dengan pakaian putih dan sinar menyelumuti diriku, tapi yang paling penting adalah aku dalam keadaan muda. Yaaa benar! Rasanya seperti kembali muda, dimana kerutanku tidak ada, dan wajah cantikku masih merona dibalut jilbab panjangku. Dihadapanku ada hiruk pikuk manusia, tengah berpesta. Aku terus berjalan bermaksud mencari tahu dimana ku berada, tapi setiap orang yang ku panggil seperti tidak ada yang mendengar, bahkan beberapa dari mereka menembus diriku. Aneh. Aku seperti hantu. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk terus berjalan dan entah kapan aku harus berhenti. Kurasa kakiku tetap saja seperti orangtua walaupun aku kembali muda. Rasanya pegal sekali berjalan. Aku mencoba melihat sekitarku, aku merinding setiap memperhatikannya. Bau khammar begitu menyengat disini, benar-benar menyengat! Semua laki-laki disini pasti sedang minum, seolah dahaga tak pernah ada obatnya. Perempuan-perempuan tengah memperlihatkan lekuk tubuhnya, bahkan ada yang hanya tertutup kain tipis, dan tubuhnya benar-benar dapat dilihat dengan mudah. Banyak satu laki-laki yang digerayangi oleh banyak wanita, yang satu menciuminya, yang lain mengelusnya, dan yang satu memijatinya. Bahkan tak jarang kulihat perempuan bersender di pohon dengan seorang laki-laki menghinggapi lehernya dengan mulut dan lidahnya menjulur-julur memancing atmosfer panas dari sang nafsu, kemudian menghinggapi dadanya dengan tangannya, tapi perempuan itu hanya diam sambil setengah menutup mata dengan mendesah. Aku yang melihat hampir saja merasa gelora-gelora nafsuku memuncak, tapi ku hentikan segala itu dan menundukkan kepalaku.
“Astagfirullah”
Aku kembali berjalan kemudian aku sampai ke sebuah desa yang lebih sepi dari tempat sebelumnya, tapi tidak sesepi bulan saat mengunci malam dengan dengung lelapnya ketika ku muda dulu. Disini aku melihat seorang tua renta sedang berjalan, ku perhatikan setiap gerak-geriknya sampai aku melihatnya terjatuh. Aku nyaris mencapainya dengan berlari sebelum seorang perempuan datang dari belakang dengan membawa termos berisi air panas, dan… aku melindungi orang tua renta itu tapi aku hantu disini, tak ada yang bisa menyentuhku, mendengarku, melihatku seperti halnya merekapun tidak bisa. Alhasil orang tua renta itu kejang-kejang, aku berusaha menyentuhnya dan ingin membantunya, tapi aku tidak bisa. Benar-benar merasa tidak berguna. Aku menangis melihatnya. Belum sembuh lukanya, seorang laki-laki datang dan menggebuk tubuhnya yang tua renta dengan kayu sambil berteriak “Jika kau mati, rumah ini akan menjadi milikku!”. Aku benar-benar tidak mengerti dunia apa ini. Aku melihatnya! Mellihat tatapan sang tua renta itu, tatapan yang seolah berkata “ambilah apa yang kau mau, tapi biarkan aku pergi. Aku hanya minta kau tinggalkan nyawa di jiwaku!”, mata itu begitu lirih menahan sakit. Aku berada di depannya! Berharap akulah yang terkena tendangan dari laki-laki itu, tapi tetap saja tidak bisa. Aku menangis, aku berusaha menghentikan mereka tapi tidak bisa. Sampai akhirnya kucium bau hangat darah kematian. Baunya benar-benar panas. Bau kematian yang bengis. aku bahkan seperti merasa kehilangan nafasku melihat ini. Aku tak bergerak di hadapan seonggok tubuh yang berdarah itu, aku menangis sementara perempuan dan laki-laki itu pergi. Aku melihat dan mendengar lelaki itu tertawa dan berkata kepada si perempuan “Aku sudah bilang aku akan membuat rumah ini menjadi milikmu, tidak lagi adikku dan Ibuku, hanya kamu dan aku sayaang. Hahaha” kemudian lelaki itu mencium bibir si perempuan, aaahh! Itu terlalu menjijikkan untuk dilihat! Sudah! Sudah! Aku ingin pulang, dimana ini sebenarnya? Aku sebenarnya tak tega meninggalkan nenek tua tak bernyawa  sendirian disini, tapi aku pun tak bisa melakukan apapun kecuali melihat dan menangisinya.
Aku terus berjalan dan kemudian sampai ke sebuah desa, dimana aku hanya melihat tubuh-tubuh penuh darah. Aura kematian benar-benar semerbak disini. Aku melihat seorang laki-laki berpeci, bersih wajahnya, datang kepada seorang perempuan berjilbab.
“Aisyah, seperti halnya malaikat datang mencuci tubuh Nabi dengan mengambil sifat hasad, dengki, dan sifat-sifat buruk lain, syaitan juga mencuci mereka semua dan mengambil semua hati mereka. Aku tak sanggup lagi Aisyah. Kurasa dibanding hidup dan kemungkinan besar menjadi murtad, lebih baik kita sembelih diri kita kepada-Nya”
“Aku tidak akan bunuh diri seperti orang-orang disini Bang. Sesungguhnya hatimu juga sudah direbut oleh syaitan. Bagaiman mungkin kau menghindari hal buruk dengan cara yang buruk? Itu sama saja Bang.Jika saja kau tidak menyuruh orang-orang disini bunuh diri, aku yakin kita punya balatentara yang cukup untuk bertahan tanpa diganggu mereka”
“Aku tidak akan membiarkan syaitan itu mengambil hati berhargamu Aisyah, kalau kau terus seperti ini aku akan membunuhmu!”
“Sadarlah Bang, Abang sudah membiarkan satu desa ini membunuh dirinya sendiri!”
Perempuan itu berkata dengan lirih tapi laki-laki itu menyergapnya dengan cepat tanpa mebiarkan waktu sedetikpun bagi perempuan itu untuk melarikan dirinya. Lagi-lagi aku melihat seseorang terbunuh, kali ini ditangan suaminya sendiri. Kemudian laki-laki itu menusuk dirinya sendiri sampai mati. Mungkin dipikirannya dia ingin menghindari orang-orang di desa yang telah kukunjungi sebelumnya tapi dia tidak tahu bunuh diri juga bukan jalan yang disukai-Nya.
Seperti itulah mimpiku, sekarang sepertinya mimpi itu benar-benar menjadi nyata. Dunia ini memang semakin terang dengan hadirnya lampu, tapi semakin menggelapkan ruh-ruh yang ada di dalam kekangan jiwa-jiwa tak berhati! Seperti syaitan telah mengambil seluruh hatinya, sampai yang tersisa hanya nafsu. Sepertinya siang ini aku berjalan terlalu jauh atau memang dunia ini yang sudah berubah?.
Aku berusaha merebahkan tubuhku di kasur, tapi aku masih merasa ini mimpi. Aku memejamkan mataku dan mengatur nafasku. Sampai aku merasa ada benda tajam menembus kulit keriputku, aku berusaha membuka mataku dan kulihat seorang perempuan! Perempuan itu kembali menusukkan pisaunya hingga datang seseorang paruh baya dan berkata “Ibu aku sudah dapatkan suratnya!”. Meneteslah airmataku, anak itu yang menolongku pulang ke rumah saat kakiku jatuh! Dan dia tak lain adalah cucuku!

Sabtu, 02 Februari 2013

Sudah ‘dekat’kah kita?



Daging-daging bergetah darah, yang ditopang tulang
Tumbuh dengan pupuk-pupuk nafsu
Hay dunia! Sudah ‘dekat’kah kita?
Mereka saling merobek nyawa

Jiwa-jiwa temaram yang memotong pikirannya
Mencekik nuraninya sendiri
Menginjak dunia yang dirusaknya
Betapa baiknya Tuhan kita?
Bukankah mereka atau mungkin KITA!
Sudah tak pantas menginjak dunia?

Relung-relung jiwa melebar
Berisikan surga dunia
Sudah ‘dekat’kah kita wahai dunia!?

Sudah ‘dekat’kah kita wahai dunia? Sudah ‘dekat’kah kita hai DUNIA!
Lahir, bernafas, hidup, kemudian lelah
Mayat-mayat basah dalam tanah, tidakkah mereka kurang banyak?
Duniaaaaaa… Jawab aku!
Sudah ‘dekat’kah kita? L